🍁 22. Resah 🍁

Mulai dari awal
                                    

"Empat belas," jawab Rindu takut-takut.

"Ya sudah. Tinggal lanjutkan."

"Boleh main, Kangmas?" tanya Rindu setelah duduk di tempat tidur.

"Kerjaanmu masih banyak, sudah mau main."

"Tapi, aku butuh penyegaran, Kangmas," rengek Rindu. "Otakku sudah abu-abu."

"Ke mana?" Bukannya menjawab, Segara balik bertanya.

"Ke mana-mana, janji nggak akan tersesat dan kembali ke sini sebelum tengah hari."

"Kamu tahu nggak kalau selama di sini, saya bertanggung jawab untuk keselamatanmu?"

"Tahu." Tapi, aku bosan membaca. Kalimat yang tak diucapkan Rindu secara lisan karena sudah menduga reaksi Segara. "Bisa nggak, sih, kalau Kangmas itu langsung nunjukin aja apa yang mesti aku tulis? Bagaimana semua kukerjakan biar nggak pakai—"

"Membaca lama-lama?" Segara memotong kalimat Rindu seolah mudah baginya untuk mengetahui apa yang sedang gadis itu pikirkan.

Rindu mengangguk. "Itu tahu ...."

"Kamu berpikir saya akan mendikte apa yang harus kamu tulis sampai selesai?"

Rindu tidak mengangguk untuk pertanyaan Segara yang ini. Dia memilih diam dan berusaha untuk tidak membandingkan dosennya dengan Raga yang memanjakannya luar biasa. Dalam hati, dirinya terus berkata bahwa pilihannya sekarang sudah tepat.

"Kamu berpikir kalau saya nggak memberi perlakuan khusus karena kita pacaran?" tanya Segara, tepat seperti apa yang dipikirkan Rindu.

"Ya ... gitu. Tapi, 'kan wajar kalau aku berpikir begitu?"

"Memang wajar." Segara mengangguk. "Bukan hanya kamu, semua orang yang ada di posisimu juga pasti berpikir hal yang sama. Tapi, kalau kamu pikir lagi ... saya ada untuk membantumu, Ndu! Nggak akan saya biarkan kamu gagal."

"Tapi ...." Bagaimana caranya tak membiarkan gagal, tetapi masih meminta untuk membaca dan membaca? Tak tahukah Segara kalau waktu Rindu bisa habis hanya digunakan untuk membaca?

"Sebagai pacarmu, saya bisa memberikan 24 jam untuk merevisi."

Pacar apa? Rindu melirik Segara dengan bibir cemberut. Sudah main sejauh ini, jalan-jalan juga tidak. Memangnya enak mendekam di kamar terus? Andai ada telur yang bisa dierami, pasti juga menetas saking panasnya suhu tubuh Rindu karena rembesan dari otak yang sudah mendidih.

"Pacar apa yang nggak ngajak kencan?"

"La ini kita sudah kencan, Rindu."

Rindu meraih bantal untuk menutup wajah, lalu rebah di tempat tidur. Teori dari mana kalau kencan itu di kamar bersama tumpukan buku-buku? Segara ini memang benar-benar tidak elit, pikir Rindu.

"Ndu ...." Segara meraih bantal yang dipakai Rindu menutup wajah, tetapi gadis itu memegangnya dengan erat. "Jangan seperti ini! Ayo, semangat menyelesaikan tugas akhir!"

Semangat lagi, semangat lagi. Memangnya tidak ada kalimat selain itu? Rindu merasa sangat bosan mendengar hal yang sama berulang-ulang. Kalau dipikir-pikir, untuk apa punya pacar dosen kalau masih jatuh bangun juga buat lulus kuliah? Tiba-tiba, Rindu merasa masa bodoh. Sudah takdirnya untuk tidak bisa membanggakan orang tua. Dia harus mengulur waktu sampai waktu benar-benar berlalu dan dia akan bebas dari seluruh tekanan tanpa jalan keluar ini.

"Rindu ...." Segara kembali menarik bantal Rindu, kali ini berhasil. Gadis itu bahkan kembali duduk dengan wajah kusut tanpa semangat.

Segara hendak berbicara ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi. Mungkin panggilan tugas, Segara di sini memang untuk itu. Lihat saja! Siang ini, pasti akan ada kabar bahwa anak didiknya akan memenangkan lomba. Sudah pasti begitu. Segara tak pernah pulang dengan tangan kosong.

"Saya harus pergi untuk—"

"Iya."

"Jangan seperti ini, Ndu. Bagi saya, kamu nggak ada bedanya dengan anak-anak yang sekarang sedang lomba itu."

"Ya beda," elak Rindu. "Mereka akan membawa kemenangan dan menambah panjang reputasi Kangmas yang nggak pernah gagal membuat kebanggaan. La aku? Aku akan jadi orang pertama yang mencoreng nama baikmu."

Rindu kesal sendiri. Memang ada kalanya dia memiliki suasana hati yang tidak menentu dan bisa jadi lebih buruk. Tampaknya, hari ini juga begitu. Sejak bangun tidur, perasaannya sudah aneh. Setiap yang dikerjakannya terasa tidak benar, serba salah.

"Kamu PMS?"

"Ish, sudah sana pergi!" Rindu mendorong Segara supaya keluar kamarnya. "Nanti, telat kalau di sini terus."

"Saya mengajakmu ke sini supaya kita bisa terus bekerja." Tubuh Segara bahkan tidak bergeser sedikit pun. Dorongan Rindu seolah bukan apa-apa. Kalimat yang diucapkan dengan nada halus itu membuat Rindu tak bisa membantah. "Karena kita pacar, makanya kamu harus pintar."

"Mana bisa?" Tanpa sadar, bibir Rindu mengerucut. "Kenapa, sih, nggak Kangmas bilang aja poin-poin yang harus aku ketik? Jadi, aku tinggal mengembangkannya sesuai data. Pacar, 'kan?"

"Justru karena pacar, saya nggak akan melakukan itu. Saya sayang kamu, Ndu."

"Sayang kok pelit."

"Saya sayang, tapi tak akan menjerumuskan. Kalau saya melakukan seperti maumu, bukankah kamu akan tetap stuck dan nggak ada kemajuan? Justru dengan rasa itu, saya harus membuatmu pintar!"

"Baiklah." Meski dengan berat hati, Rindu mengangguk patuh. Paham maksud dan tujuan Segara. "Aku kerjakan lagi."

"Begitu lebih baik." Senyum lebih lebar dari biasanya menghiasi wajah Segara. Rindu menyukai itu dan berharap bisa melihatnya lebih sering. "Ya sudah, saya pergi dulu. Kamu pesanlah makan siang karena saya nggak tahu bisa makan sama kamu apa nggak. Kalau ngantuk tidurlah, kita pulang sore ini. Jadi, kamu nggak lelah perjalanan."

"Iya."

"Ya sudah, saya pergi dulu." Segara meraih bagian belakang kepala Rindu, lalu menariknya mendekat. Setelah itu, sebuah kecupan singkat mendarat di bibir Rindu.

Ndu ... awas bablas🤐

Love, Rain❤

Kidung Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang