🍁 10. Belenggu Rasa 🍁

640 176 60
                                    

Malam, temans. Pada liburan ke mana nih?
.
Yang di rumah aja, ditemani Rindu, ya? Selamat membaca🥰
.
.
Tidak ada yang lebih membahagiakan hati Rindu selain ucapan sang dosen bahwa dia bisa lanjut ke bab dua. Tentunya, dengan membaca kembali bab satu dan memastikan tidak ada yang salah ketik dan lain-lain. Hari-harinya memang semembosankan itu.

Semangat yang diberikan Segara membuat Rindu duduk di perpustakaan sepagi ini setelah hampir lelah mencari buku. Dia hanya butuh tiga buku, tetapi membacanya itu yang membosankan. Tak hanya itu, matanya juga bisa mengantuk dan siap tidur kapan saja andai menemukan tempat nyaman.

Sepanjang kuliah, Rindu tidak pernah membaca seperti sekarang. Menyimak kata demi kata, kemudian memutuskan bagian mana yang akan dimasukkan ke dalam bab dua tugas akhirnya. Matanya serasa mau lepas mengamati huruf sedemikian banyak.

Mau sebosan apa pun Rindu membaca buku-buku, tidak ada opsi lain yang bisa dipilih. Suasana hati Segara yang baik akhir-akhir ini membuatnya sedikit senang dan tak merasa terlalu tertekan. Meski harus bekerja di meja dalam ruangan dosennya, dia merasa tenang.

Dulu, selalu ada Raga yang membaca untuk Rindu. Dalam tugas demi tugas, pria itu yang dengan telaten membaca halaman demi halaman sebelum memberitahunya bagian mana yang akan ditulis. Dia terbiasa dimanjakan dengan hanya mempelajari buku secara garis besar saja. Singkatnya, Raga adalah asisten baca Rindu.

Sayangnya, Raga tak sebaik yang terlihat. Pengkhianat itu masih berkeliaran di dekatnya, sementara di rumah sedang menyimpan perempuan lain. Perempuan hamil yang menunggunya pulang setiap sore sedangkan si pria masih menemui kekasih resmi. Rindu tidak bisa menyebut dirinya sebagai yang lain karena nyatanya memang begitu.

"Haish ... demi apa aku melihat Rindu mojok di perpustakaan. Anteng lagi."

Rindu menoleh ke arah datangnya suara. Adiyanto, dengan tas di punggung serta tumpukan buku di tangan, berdiri di samping kursinya. Temannya muncul dengan wajah lebih cokelat dari biasa, meletakkan tumpukan buku di meja, lalu menarik sebuah kursi lebih dekat pada Rindu sebelum duduk di atasnya.

"Kamu sendiri, ngapain?" tanya Rindu tanpa mengalihkan tatapan dari wajah Adiyanto.

"Cari bahan buat melanjutkan tugas akhir." Adiyanto meletakkan tas di lantai. "Aku tahu wajahku menjadi lebih cokelat dari minggu lalu. Hasil panjat tebing. Biasa aja ngeliatnya!"

"Nejong, ngerti nggak!" hardik Rindu.

"Suaramu, Ndu!"

Rindu menoleh ke seluruh penjuru ruangan. Hampir semua mata menatapnya dengan sorot terganggu, kemudian kembali fokus pada bacaan mereka. "Gara-gara kamu, aku jadi aneh. Menjauh sana! Jangan ganggu-ganggu!"

"Siapa yang mengganggu?" elak Adiyanto. "Aku cuma menyapa dan sedikit pamer kalau habis panjat tebing."

Dulu, Rindu adalah salah satu perempuan handal saat melakukan panjat tebing. Suatu kali, dia jatuh dari ketinggian hampir tiga meter dan kecerewetan Raga di mulai dari sana. Dia tak lagi bisa climbing tanpa pria itu yang mengawasi keamanannya.

Raga memang tidak melarang secara terus terang, tetapi aturannya membuat gerak Rindu terhalang. Namun, cinta membuatnya mengerti bahwa sikap itu beralasan. Lagi pula, banyak kegiatan lain yang juga dikuasainya dengan baik.

"Ngelamun." Adiyanto menarik pelan kunciran Rindu.

Rindu berdecak tak senang. "Suka banget narik rambutku." Tangannya membalas dengan menarik telinga Adiyanto.

"Lama-lama, kamu itu seperti emakku, Ndu. Suka banget narik kupingku."

"Salah sendiri bawel."

"Tapi, sumpah, Ndu. Aku lebih senang melihatmu di gunung-gunung daripada perpustakaan."

Kidung Merah JambuOù les histoires vivent. Découvrez maintenant