🍁 11. Intervensi 🍁

548 161 19
                                    

Malam, temans. Yang kangen Rindu langsung merapat, yaa ....

"Ndu, senggang?"

Rindu yang baru keluar kamar menoleh pada Rina di ruang tengah. Mamanya terlihat sibuk melipat kotak-kotak nasi, sedangkan papanya sibuk dengan kalkulator dan tumpukan nota.

"Kenapa, Ma?" Alih-alih menjawab pertanyaan mamanya, Rindu pilih balik bertanya. Mamanya butuh pertolongan jika sudah bertanya begitu.

"Kamu antarlah adikmu berangkat sekolah!" Rina meletakkan selembar uang di meja. "Sekalian mampir ke pom bensin."

"Iya." Rindu menutup pintu kamarnya. "Ayo, Dek!"

"Tunggu, Ndu!" Suara Dayat menghentikan langkah Rindu. "Kamu hitunglah nota-nota itu, sekalian buatkan tagihan untuk pelanggan yang nasinya harus diantar siang ini!"

Rindu mengeluh dalam hati. Bakal lama urusan kalau berkutat dengan nota dan tagihan. Meski begitu, apa yang bisa dikatakannya? Orang tuanya jarang meminta tolong. Rasanya tidak etis kalau dia menolak padahal sering merepotkan orang rumah dengan urusan dagangannya.

"Oke, Pa!"

Rindu mengambil alih tempat duduk Dayat setelah beliau beranjak. Matanya mengamati angka-angka beserta nota-nota yang sudah dipisah termasuk tagihan yang harus dibuat. Kapan selesai kalau kerjanya manual begitu? Taruhan, di rumah sebelah pasti sedang terjadi keributan karena makanan harus diantar tepat pada jam makan siang.

Tanpa banyak bicara, Rindu beranjak ke kamar. Dia keluar lagi dengan laptop di tangan dan mulai bekerja. Untuknya, bekerja dengan lembar excel lebih cepat daripada harus menekan kalkulator. Lagi pula, minim kesalahan atau bahkan tanpa kesalahan asalkan input angkanya benar.

"Aku ke sebelah dulu, Ma," kata Rindu setelah selesai dengan pekerjaannya.

"Beresin dulu notanya, Ndu! Mama mesti bayar pesanan di toko depan."

"Sudah, kok, Ma." Rindu menunjuk tumpukan kertas di sisi printer. "Total belanja bahan di toko depan dan semua yang harus dibayar serta tagihan untuk pesanan siang sampai sore. Semua beres."

"Cepat amat?" Rina tampak heran. "Papamu ngerjakan itu sejak selesai subuh gak selesai, la kamu nggak ada sejam beres."

"Pakai komputer, Ma. Lebih cepat."

"Sakjane (sebenarnya) pintar, kenapa tugas akhir aja kok nunggu mau DO? Aneh."

Rindu berlalu dari hadapan Rina sebelum segala sesuatunya jadi panjang. Menurutnya, tidak ada hubungan antara pintar dan tugas akhir tepat waktu. Yang benar-benar pintar saja ada yang mendadak bego, apalagi yang pas-pasan macam dirinya. Jangan berharap terlalu tinggi, daripada kecewa.

"Mbak Risma ... Rindu bisa bantu apa?" Rindu sudah duduk di lantai seraya mengamati karyawan mamanya yang sedang sibuk dengan sambal. "Itu ngapain sambel kok masuk plastik begitu? Cup khusus sambel mana?"

"Cup apa maksud Mbak Rindu?" Risma tidak paham ucapan Rindu. Selama dia bekerja, sambal selalu dimasukkan plastik.

"Kudet!" olok Rindu. Dia bangkit dan berjalan menuju lemari penyimpanan. Diraihnya sebuah plastik besar berisi cup mungil yang sudah jadi satu dengan tutupnya. "Ini apa?"

"Mbak Rinduu ...." Risma tertawa dengan wajah memerah. "Lupa kalau itu tempat sambel. Bapak sudah bilang padahal."

"Pikun." Rindu kembali duduk setelah menerima kerupuk yang sudah dimasukkan plastik. "Tuang lagi sambalnya, Mbak Ris! Trus pake cup itu aja. Lebih cepat dan nggak ribet."

"Siap, Mbak Rindu. Untung sampean (kamu) datang. Jadi nggak diomelin sama Ibuk."

"Memangnya, Mama suka ngomel?"

Kidung Merah JambuWhere stories live. Discover now