🍁 17. Spontan 🍁

539 162 63
                                    

Malam, temans. Assalamualaikum. Rindu datang lebih cepat dari jadwal. Selamat membaca.

"Tahu, nggak?" Rindu masuk sekretariat Mapala dengan emosi yang sudah di kepala. "Kelakuanmu berdua ...." Tangannya menunjuk Putra dan Adiyanto. "Tapi, aku yang kena imbasnya."

"Eh, Pacar ...." Putra menyapa lebih dulu. "Datang bukannya mengucap salam, malah ngamuk-ngamuk. Pakai nunjuk lagi, nggak sopan."

"Ngaku-ngaku!" Adiyanto mendorong bahu Putra dengan wajah sebal, lalu berpaling pada Rindu dan tersenyum manis. "Duduk dulu sini! Terus ngomong sama Kanda, kenapa marah-marah?"

Ucapan Putra dan Adiyanto sukses mengundang tawa semua orang yang ada di sekretariat. Rindu tak peduli, matanya tetap menyorot garang dengan kemarahan yang tak bisa surut. Dia bahkan tidak tersenyum dengan beberapa gurauan yang terucap dari beberapa orang.

"Kalian berdua yang mangkir bimbingan sama tanteku, tapi aku yang kena omelannya. Bisa, nggak, kalian itu rajin sedikit saja?"

"Itu sudah usaha maksimal, Ndu," kata Putra, "bukan aku saja yang mangkir, tantemu itu yang katanya pergi ke ruangan dosen pembimbingmu dan ngendon di sana sampai lebih dari empat jam. Memangnya aku nggak punya kegiatan sampai harus nungguin tantemu?"

"Kalau aku ...." Adiyanto terlihat berpikir sebelum menyampaikan alasan pada Rindu. "Masih manjat ke Lembah Kera. Akhir pekan besok, aku masih ada pengamatan satwa endemik di Banyuwangi."

Kalau mendengar jawaban temannya, rasanya tidak ada yang salah dengan itu. Satu atau dua orang mahasiswa memang terlambat bimbingan atau bahkan tak membuat janji temu. Namun, ketika tantenya sendiri yang absen karena ada urusan sampai berjam-jam, mestinya tak ada yang harus disalahkan.

"Bu Leni marah lagi, Mbak?" tanya Ika setelah sekretariat hening beberapa saat.

"Iyalah." Rindu mengangguk. "Nyebelin."

"Mestinya Mbak Rindu minta bimbingan sama Bu Leni, jadi beliaunya nggak marah-marah setiap ketemu."

"Males!" teriak Rindu. "Mendingan Pak Gara ke mana-mana. Lama-lama menyenangkan meski minim ekspresi." Bohong, aku bahkan menangkap dan mulai mengerti setiap ekspresi di wajah Pak Gara. Namun, Rindu tak mungkin mengatakan kalimat itu pada teman-temannya.

"Membacaaa!" teriak Adiyanto dan Putra kompak.

"Apa susahnya membaca?" entah sejak kapan, Rindu tak keberatan dengan membaca. Meskipun kadang-kadang bosan, dia memiliki banyak kegiatan sampingan untuk mengalihkan rasa itu dan kembali menekuni tulisannya.

"Duh, sudah pro sama Pak Gara dia. Apalah dayaku yang masih suka panjat-panjat daripada membaca." Adiyanto mendramatisir ucapannya dengan memeluk tas di dada.

Rindu kembali mengulang kalimatnya tentang membaca. Entah mulai kapan dia tak lagi mengingat tentang Raga saat membaca. Tak dia kenang lagi kebiasaan membaca pria itu untuknya. Yang ada hanyalah ucapan Segara untuk membaca dengan teliti.

Mengingat Segara membuat Rindu berpikir. Apakah dosennya sudah makan siang? Secara otomatis, tangannya menyingkirkan lengan jaket untuk melihat eiger biru di pergelangan tangan. Hampir pukul dua, mestinya Segara sudah makan siang. Rindu bangkit dan berlalu.

"Nduuu," panggil Putra. "Mau ke mana, sih? Baru datang ini."

"Ke tempat Pak Gara," jawab Rindu enteng.

"Kenapa, sih, kamu ke sana melulu?" protes Adiyanto. "Memangnya kupingmu nggak panas diomelin terus sama Pak Gara? Nggak bosan, gitu nampang terus di sana?"

Sepasang alis Rindu bertaut sejenak. Mengapa kupingnya harus panas? Segara tidak pernah ngomel tanpa alasan. Lagi pula, dia memang ingin pergi ke sana. Dia tak tahu mengapa, tetapi ada yang kurang ketika dirinya tak mengunjungi Segara meski hanya sekadar duduk membaca dan tanpa mengerjakan apa-apa walaupun laptopnya menyala.

Kidung Merah JambuWhere stories live. Discover now