🍁 6. Kenyataan 🍁

498 164 18
                                    

Malam, temans ... Rindu datang lagi. Ramaikan, hyuukk😍
Oh iya, kalo othornya telat update, maklumin yakk ... sok sibuk soalnya😁
.
.
.
Jantung Rindu berdetak lebih keras dari biasanya. Mobil berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari rumah Raga. Bersama teman-temannya dia berjalan mendekati rumah yang hanya dua kali pernah dikunjunginya. Ada bendera putih di sana dan dia berharap kabar tak mengenakkan beberapa saat lalu tidaklah benar.

Harapan tinggalah harapan. Beberapa rangkaian bunga di depan rumah menuliskan kalimat duka mendalam untuk Raga. Langkahnya terhenti, pandangannya berputar, dan sesaat menggelap. Semua adalah kenyataan, bukan mimpi seperti harapannya.

Mau mengingkari kenyataan seperti apa pun, yang terbujur kaku di tengah ruangan itu memang Raga. Rindu sempat melihat wajah pria itu saat penutup jenazahnya dibuka oleh keluarga untuk terakhir kali. Ada goresan luka yang cukup besar di kepala serta darah yang mengering mengikuti sobekan luka.

Itu yang dilihat oleh Rindu. Ada bisikan yang mengatakan bahwa tangan dan kaki Raga patah. Sekencang apa pria itu mengemudi pada waktu kejadian? Seingatnya, Raga adalah pria paling berhati-hati dalam berkendara.

Apakah Raga dikejar waktu? Apakah pria itu buru-buru ingin menemuinya karena ketiadaan komunikasi sejak pertengkaran terakhir mereka? Terhitung tidak ada pembicaraan selama lebih dari empat hari padahal keduanya memiliki kebiasaan saling berkirim pesan meski hanya ucapan selamat pagi dan malam menjelang tidur.

"Pelakor!"

Alis Rindu bertaut. Kenapa dia mendengar kata itu disebut berkali-kali. Rasanya tidak pantas untuk mengucapkan kata yang sama berulang-ulang, apalagi di tempat duka cita seperti sekarang.

Mestinya, orang cukup bijak untuk mengendalikan lisan. Meskipun tidak mengenal orang itu secara khusus, tetapi Rindu cukup tahu siapa mereka. Beberapa orang pernah satu kelas dengannya di mata kuliah pilihan.

Tak lama, salah satu pintu kamar terbuka. Jeni, teman baiknya, muncul dari sana dengan wajah berurai air mata. Kedua tangan memegang perutnya yang membuncit. Apa yang terjadi? Kapan perempuan itu menikah?

Jeni berada dalam rangkulan ibu Raga. Tangisnya terdengar memilukan. Untuk orang yang bukan siapa-siapa, sikap perempuan itu terlihat berlebihan. Jenazah raga sudah terbungkus kain kafan dan tidak diperkenankan untuk dibuka lagi.

Rindu melirik teman-temannya. Ada hal lain yang sedang disembunyikan karena satu per satu dari mereka berpaling untuk menghindari tatapannya. Di sini, Rindu merasa menjadi orang bodoh karena tak tahu apa-apa. Mengapa Jeni menangisi kepergian Raga sampai begitu padahal dirinya adalah kekasih pria itu? Kemudian ibunya Raga, kenapa justru memeluk Jeni padahal biasanya perempuan baik itu selalu menyambutnya dengan ramah?

"Tante, kenapa nggak mengusir pelakor itu dari rumah ini?" Bahkan Desi, adik Jeni, sama dengan orang-orang yang pernah Rindu lihat dan kenali sebelumnya, mengatakan hal yang menurutnya tak pantas untuk diucapkan dalam suasana duka seperti ini. Sejak kapan dua bersaudara itu jadi seakrab ini dengan keluarga Raga?

Tunggu! Desi menatap tajam pada Rindu. Rindu sempat menoleh ke kiri dan kanan serta belakangnya untuk memastikan siapa yang dituduh oleh perempuan yang tak bisa tenang itu. Tidak ada perempuan lain selain dirinya yang ada dalam bingkai tatapan Desi yang kali ini diikuti oleh sorot Wahyuni, ibunya Raga.

"Ndu, Rindu."

Rindu menoleh mendengar namanya dipanggil. Belum sempat memberikan respons, tangannya sudah ditarik pergi meninggalkan tempat duduknya. Giliran dia yang masuk ke sebuah kamar di mana gadis kecil berusia dua tahun sedang tidur memeluk guling.

"Maafin Raga!" Rindu sudah masuk dalam pelukan hangat Rahma, kakak perempuan Raga. "Maafin dia untuk kesalahan yang tak bisa lagi kami sembunyikan.

Kesalahan Raga yang mana? Seingat Rindu, pria itu tidak melakukan kesalahan apa-apa selain marah karena Rindu menolak ajakannya untuk pergi ke puncak pada akhir pekan lalu. Ke puncak berdua. Yang benar saja, bisa digantung papanya jika Rindu sampai pergi. Dia mungkin bebas pergi naik gunung kapan saja, tetapi tidak jika berduaan dengan pria dan dirinya cukup jujur ketika berpamitan ke mana pun ingin pergi kepada orang tuanya.

"Apa yang terjadi?" tanya Rindu sabar, bermaksud mengurai seluruh ketidakjelasan ini secara perlahan.

"Jeni istrinya Raga, Ndu," kata Rahma lirih. "Maaf tidak memberitahumu lebih awal tentang hal ini."

Tak lagi secara perlahan, kebenaran itu terbuka di pikiran Rindu dengan kejelasan tak terbantahkan. Tuduhan pelakor yang ditujukan untuknya, ditambah tatapan Jeni dan sorot mata Wahyuni. Jeni adalah istri Raga dan dirinya dituduh sebagai orang ketiga dalam rumah tangga mereka.

"Tapi aku ...." Apa yang mau Rindu katakan? Kenyataan bahwa Jeni telah mengandung membuat kebenaran tak akan berpihak padanya. Mau menyangkal sampai menangis darah juga tak akan mengubah kenyataan yang ada.

Rindu menangis. Dia menenggelamkan wajah di tas yang sejak tadi ada dalam pelukannya. Kejadian apa ini? Raga mengkhianatinya, lalu menikah, dan istrinya sedang hamil. Demi Tuhan. Apa alasan pengkhianatan ini? Jeni adalah teman baiknya. Dia dan Raga bahkan tidak pernah bertengkar hebat selain minggu lalu. Itu pun bukan dengan alasan yang patut untuk dibuat besar.

Rindu tidak tahu berapa lama dirinya menangis. Pintu terbuka, Galang masuk dan mengajaknya pergi. Dia tak membantah, tetapi dia ingin menghentikan langkah demi menampar mulut-mulut yang masih mengatakan pelakor kepadanya.

"Nggak usah dipedulikan!" Galang mendorong bahu Rindu supaya terus berjalan.

***

Rindu maju menuju gundukan tanah merah setelah satu per satu orang dari kerumunan beranjak pergi. Rindu menatap pusara Raga dengan mata yang masih terus basah. Kenyataan ini terlalu sakit dirasakannya.

"Kamu mau dilamar kapan, Rin?" Hanya Raga yang memanggilnya begitu. Rindu ingat dengan baik, alasannya hanya karena terdengar lebih feminin.

"Nanti, kalau Mas Raga sudah jadi manajer." Rindu menjawab asal. Nyatanya, pria itu siap melamar kapan pun. Hanya saja, orang tua Rindu tak pernah mengizinkan adanya lamaran sebelum dirinya menyandang gelar sarjana. Supaya tidak ada tanggungan kuliah setelah menikah, begitu kata papanya.

Berkali-kali datang ke rumah, Raga disambut baik oleh orang tua Rindu. Pria itu bahkan berhasil mengambil hati papanya yang terkenal susah didekati. Mereka juga bermain catur ketika Rindu sedang tidak ingin ke mana-mana.

Dalam sebuah candaan, papa Rindu pernah berkata supaya Raga menikah dengan orang lain saja karena putrinya tak kunjung jadi sarjana. Raga bilang akan setia menunggu karena cintanya yang besar. Dia akan setia selamanya.

"Ndu." Rindu menoleh ke kanan saat lengannya disentuh dengan sengaja. Rindu melirik, mendapati Galang sedang menatap berpindah-pindah dari wajah dan keranjang bunga di tangannya.

Rindu paham, lalu mengambil segenggam bunga. Untuk apa dia melakukan tabur bunga ini untuk si pengkhianat cinta? Inikah yang dinamakan menunggu dan setia selamanya? Dengan menikahi orang lain secara diam-diam di belakangnya.

Rindu meremas bunga dalam genggamannya. Pengkhianat itu sudah tiada. Meninggalkan rasa sakit, kecewa, dan amarah sebesar gunung. Setia, katamu, Mas? Kamu bahkan nggak ngerti arti kata yang kamu ucapkan. Rasa cinta yang pernah kamu ucapkan itu, nyatanya tak lebih dari sekadar omong kosong. Sekarang, bawa pergi kesetiaan yang kamu agungkan setinggi langit itu! Rindu melepas bunga yang sudah tak berbentuk ke pusara Raga. Hanya sekali, lalu bangkit dan meninggalkan keranjang yang masih penuh bunga begitu saja.

Hayo looo, cemana kalo kek gini?

Love, Rain❤

Kidung Merah JambuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora