° 15. Anak Ayah °

756 110 11
                                    

“Bang, tunggu!” Imam mencekal erat lengan si sulung yang telah menginjakkan kakinya ke pelataran garasi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Bang, tunggu!” Imam mencekal erat lengan si sulung yang telah menginjakkan kakinya ke pelataran garasi.

“Mau ke mana? Ini udah malem, di rumah aja, ya?” pintanya memohon.

Air sudah menggenang di kedua pelupuk mata ketika Hansa berusaha keras untuk tidak menangis saat itu juga. Sakit yang merasuki perut yang sedari tadi berkuasa bahkan tak sebanding dengan luka hatinya. Kecewa yang dalam merembes ke dalam setiap serat jiwa, membawa luka yang lebih dalam dari apa pun yang bisa diberikan oleh sakit fisik.

“Mau cari angin dulu, Yah,” sahutnya tercekat.

Imam menggeleng tegas. “Nggak. Ayah nggak izinin.”

“Jangan naik motor dengan pikiran kacau begini, bahaya. Di rumah aja, ya? Ayah juga mau kasih penjelasan,” tukas pria itu, masih menggenggam erat tangan Hansa.

“Penjelasan apa?” Manik hitam itu menatap pria di depannya penuh luka. “Aku udah cukup jelas denger omongan Bunda tadi, kok. Kalo aku ini anak haram, ‘kan?”

Cowok itu terkekeh serak. “Wajar selama ini Bunda benci sama aku. Ternyata gara-gara aku, masa depan Bunda hancur, Yah. Bahkan setelah dibesarkan, ternyata aku juga cuma bikin kecewa. Aku bener-bener cuma bawa sial,” lirihnya.

“Hush! Bicara apa kamu, Bang. Kamu itu anak yang paling hebat di antara anak-anak Ayah. Kamu kebanggaan Ayah, Nak,” balas Imam. Kedua tangannya terangkat, menggenggam bahu sosok di depannya dan mengusapnya perlahan.

“Tapi aku bukan anak Ayah.” Hansa menepis tangan Imam dan menatap nanar pria itu. “Aku anak bajingan yang udah ngerusak hidup Bunda,” tukasnya.

Sekilas ingatan saat Lina mengungkapkan fakta pahit itu kembali berputar di kepala Hansa. Membuat dadanya bergemuruh dan terasa sesak hingga menarik napas pun terasa sulit.

“Gara-gara bajingan itu, aku hamil anak ini. Di saat teman-temanku sibuk persiapan masuk universitas, aku tersiksa tiap hari dengan janin yang bahkan nggak aku inginkan. Sedangkan bajingan itu cuma minta maaf dan hilang tanpa kabar!” Dengan emosi meluap-luap, Lina berujar dengan mata tak lepas dari Hansa yang kini menatapnya dengan wajah pucat.

“Udah, Bun, udah. Jangan lanjut lagi, itu masa lalu yang nggak perlu diungkit.”

Tampak memelas, Imam menarik Lina untuk menjauh dari tempat itu. Namun, ia  tetap bergeming, belum puas dengan rentetan kalimat tajamnya.

“Kenapa enggak?” tampik wanita itu. “Justru udah saatnya dia tahu gimana asal usul dirinya, yang makin ke sini ternyata mirip sama bajingan itu. Bener-bener buah jatuh nggak jauh dari pohonnya.”

Dekapan erat menyadarkan Hansa dan menariknya paksa dari ingatan yang hanya membawa siksaan. Imam yang semula membeku sesaat mendengar ucapan Hansa tiba-tiba memeluk bocah itu. Sangat erat hingga membuatnya nyaris tak bisa bernapas.

NoktahWhere stories live. Discover now