° 6. Dendam °

610 92 33
                                    

Bel tanda istirahat kedua bahkan belum selesai berdering ketika Hansa melesat keluar kelas dan mengabaikan panggilan Aaron yang mengajaknya ke mushola sekolah untuk menunaikan salat Dhuhur bersama

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bel tanda istirahat kedua bahkan belum selesai berdering ketika Hansa melesat keluar kelas dan mengabaikan panggilan Aaron yang mengajaknya ke mushola sekolah untuk menunaikan salat Dhuhur bersama. Sebab biasanya mereka akan lebih dulu menunaikan ibadah wajib umat muslim itu, sebelum melanjutkan langkah ke kantin untuk sekadar nongkrong. Namun, kali ini tujuan Hansa berbeda, dan gelisah telah mendominasi hingga fokus belajarnya buyar. 

Sesampainya di salah satu sudut tersepi sekolah, dia berhenti, menunggu sembari mengatur napas yang terengah-engah. Suasana sepi menambah ketegangan, dan desiran angin seolah menyaksikan ketidakpastian yang menyelimuti Hansa. Hatinya berdebar-debar, sepasang manik hitamnya terus-menerus mencari kehadiran sosok yang seharusnya juga berada di sana.

“Kenapa ngajak ketemu di tempat beginian, sih? Padahal di deket sekolah ada banyak café, kita bisa ngobrol di sana selepas sekolah,” celetuk sosok yang mucul dari balik punggung pemuda itu.

“Itu dari lo, ‘kan?!” Mengabaikan ucapan gadis berparas cantik itu, Hansa mencengkram kedua sisi lengan di depannya cukup erat.

Mendapat perlakuan tak terduga, gadis itu meringis pelan. “Aw, sakit, Sa. Lepasin.”

“Jawab dulu, itu lo, ‘kan? Foto gue bisa ada di mading sekolah itu pasti lo yang kasih, ‘kan?” desak Hansa yang perlahan melonggarkan cengkeramannya pada sisi lengan gadis di depannya.

“Apa, sih? Gue nggak ngerti?”

“Ayolah, Fanya.” Hansa berdecak pelan. “Waktu itu, di sana cuma ada kita berdua. Siapa lagi yang bisa ambil foto gue selain lo?”

Fanya, gadis dengan iris kecoklatan itu terdiam sesaat. Raut wajahnya tampak berpikir keras untuk mengerti apa yang sebenarnya Hansa katakan. Dan pada detik berikutnya, gadis itu terkekeh pelan.

“Oh, itu. Iya, emang gue yang kirim foto itu ke anak mading,” ucapnya.

Pupil Hansa melebar usai mendengar kalimat itu terlontar dengan begitu gamblang dari bibir Fanya. Keterkejutan dan ketidakpercayaan menyatu dalam wajahnya yang terpana.

“Kenapa?” tanyanya lirih.

Tangan yang semula masih menangkup kedua sisi lengan Fanya kini teremoas begitu seja. Sedangkan sepasang netra kelamnya masih mencari-cari tanda-tanda bahwa ini hanya sekadar salah dengar atau mungkin lelucon yang tidak lucu.

“Hmm … just for fun, maybe(?)” Gadis itu memasang raut jenaka seolah keterkejutan Hansa adalah hal yang sudah dinantikan.

“Bercanda lo nggak lucu, Fan. Berita itu udah nyebar di sekolah, padahal baru pagi tadi ditempel.” Tangan Hansa terkepal erat, sedangkan sudut hatinya terasa nyeri begitu tahu bahwa Fanya memang sosok yang memberikan foto itu.

“Bagus, dong. Berarti ide gue berhasil jadi trending topic. Anak-anak ‘kan suka berita ginian, mereka jadi punya bahan buat diomongin di waktu istirahat. Bagus, ‘kan?” ucap Fanya melipat kedua tangannya di depan dada.

NoktahWhere stories live. Discover now