° 7. Dia tidak Sekuat Itu °

629 82 21
                                    

Hansa baru saja melangkah keluar dari area parkir ketika banyak pasang mata tertuju padanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hansa baru saja melangkah keluar dari area parkir ketika banyak pasang mata tertuju padanya. Pandangan orang-orang terasa seolah menusuk, dan bisikan-bisikan yang bertiup di udara seperti badai tak terlihat yang mengitari dirinya. Dia tidak menyangka efek dari rumor itu sehebat ini. Bahkan sebagian besar orang yang tengah membicarakannya bukan orang yang Hansa kenal.

"Ini orang-orang pada kenapa, sih? Dari tadi lihatin kita terus." Aaron yang berjalan di sampingnya pun mulai merasakan keanehan.

"Nggak ada yang salah dari baju gue, 'kan?" Lagi, bocah itu bertanya sembari mengamati seragam yang tertempel rapi di tubuhnya.

"Nggak ada," sahut Hansa singkat kemudian mempercepat langkah menuju kelas.

Begitu tiba di kelas pun suasananya tak jauh berbeda. Sebagian besar teman-temannya langsung menghujani Hansa dengan bermacam tatapan dengan satu makna yang sama. Namun, meski begitu, tak ada satupun yang berani bersuara atau menanyai Hansa perihal apa yang sebenarnya terjadi.

"Han." Eric menarik kursi di depannya hingga berhadapan dengan hansa.

"Itu beneran lo?" Tanpa basa-basi, cowok itu kembali mengulang pertanyaan yang belum terjawab ketika mereka bertukar pesan kemarin sore.

"Apaan, sih? Baru juga duduk udah tanya aneh-aneh. Emang beneran apa? Hansa ngapain?" Aaron yang duduk di sebelah Hansa lebih dulu buka suara. Entah mengapa, ia merasa hanya dirinya yang tidak tahu apa-apa.

Sementara itu, sebagai sosok yang sedari tadi menjadi pusat perhatian, Hansa justru masih bungkam. Sepasang netra kelam itu menatap sang kawan dengan teduh seperti biasa. Dan dengan tatapan itu, Eric yang semula tampak menggebu lantas mereda. Cowok itu mendekatkan wajahnya pada Hansa dan berujar dengan suara rendah yang hanya bisa didengar oleh dua bersahabat itu.

"Gue nggak bermaksud buat sudutin lo, karena mau gimanapun gue nggak tahu yang sebenernya terjadi gimana. As you know, gue bukan tipe yang gampang kemakan info yang nggak jelas asal-usulnya. Tapi yang jelas gue cuma berharap masalah ini cepet selesai. Dan mau gimana pun situasinya, gue tetep ada di pihak lo, Han," ucapnya tanpa secuil ragu.

"Jangan ngaco, Ric."

Hansa menyanggah tepat setelah Eric selesai berucap. Dia bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi setelah berita itu tersebar. Dan melihat betapa mudah Eric mengatakan akan berada di pihaknya justru menambah kekhawatiran di benak Hansa.

"Kalian bahkan nggak tahu apa yang sebenernya terjadi, ngapain ada di pihak gue?" tukasnya menatap Aaron serta Eric secara bergantian.

"Ya udah, cerita, dong. Gue aja selalu cerita ke lo kalau lagi ada masalah, kenapa lo nggak mau cerita ke gue? Kita 'kan temen. Ya nggak, Ric?" Aaron memanyunkan bibirnya ke arah Eric, mencari persetujuan atas ucapannya.

Tentu saja Hansa tahu seperti apa fungsi teman dalam kehidupan. Namun, berbagi keluh kesah pada orang-orang berharga dalam hidupnya tak semudah membalik telapak tangan. Jauh di dalam lubuk hatinya, Hansa tak ingin memberikan beban pada mereka. Sebab menurutnya, tak ada hal baik yang datang jika ia berbagi kesengsaraan.

NoktahWhere stories live. Discover now