° 8. Nyatanya Ia Dibenci °

533 87 11
                                    

Jika diminta untuk menggambarkan atmosfer saat ini, maka satu hal yang dengan mudah Hansa ungkapkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jika diminta untuk menggambarkan atmosfer saat ini, maka satu hal yang dengan mudah Hansa ungkapkan. Tegang dan cemas. Dua perasaan itu terus tumpang tindih sejak roda kuda besinya memasuki halaman rumah.

Setelah dipanggil ke ruang guru tempo hari, Hansa mendapat surat yang berisi pemanggilan orang tuanya ke sekolah. Hal yang dibahas tentu adalah soal rumor itu. Dan tampaknya Dewi Fortuna sedang tak ingin di pihaknya, karena alih-alih sang ayah, justru Bunda-lah yang menghadiri panggilan itu. Sang ayah memiliki agenda rapat dengan para atasan sehingga sangat sulit untuk meninggalkan pekerjaan.

Kedua kaki jenjangnya terayun memasuki rumah yang terasa lebih lengang di sore itu. Mungkin Hasan sedang bermain di kamarnya, begitu juga dengan adik gadisnya yang lebih suka bermain dengan dua kucing kesayangan ketika di rumah.

Hari ini ia pulang lebih terlambat dari biasanya karena Aaron ingin membeli kue coklat serta kue kering untuk Arjuna, keponakannya. Meski sebenarnya ingin segera kembali dan memberi penjelasan pada sang bunda, nyatanya Hansa tak bisa menolak ajakan sang kawan.

“Bun.”

Dapur menjadi tujuan utama begitu pemuda itu memasuki rumah. Karena ketika hari sudah mulai sore, biasanya Bunda akan berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam. Hansa juga akan segera turun tangan untuk membantu jika tak ada kegiatan penting lain.

Sosok yang dicari kini tengah berdiri membelakanginya. Jari-jari lentik itu tengah menggenggam pisau dan memotong wortel dengan kecepatan sedang. Panggilan lembut yang Hansa lontarkan nyatanya tak membuat sosok itu lantas menoleh. Dari respons yang diberikan, Hansa bisa tahu jika kini sang bunda tengah mendiamkannya.

“Soal panggilan ke sekolah tadi, aku bisa jelasin. Aku—”

Suara Hansa tercekat di tenggorokan ketika sang bunda tiba-tiba membanting pisau di genggamannya dan berbalik. Menatap remaja itu dengan tatapan sarat akan kebencian yang baru pertama kali Hansa dapat. Bahkan ketika marah karena ia berbuat salah, Bunda tak pernah menatapnya begitu.

“Udah sehebat apa kamu sampai bisa berbuat begitu? Nilai kamu waktu SMP aja busuk semua, tapi bisa-bisanya tidur sama anak orang dan sampai hamil. Udah gila kamu, hah?!” Wanita dengan apron kelabu itu berteriak nyaring.

Dengan langkah penuh emosi, Bunda berjalan mendekat hingga berdiri tepat di depan Hansa. “Dari bodoh disekolahin biar pinter. Ini bukannya bikin bangga orang tua, malah bikin malu. Otak kamu itu masih fungsi nggak, sih, Tam?”

“T–tungu, Bun. Biar aku jelasin dulu. Rumor itu nggak semuanya bener. Aku nggak hamilin anak orang,” tukas pemuda itu. Tangannya terulur meraih pergelangan tangan sang bunda, tetapi dengan cepat ditepis oleh wanita itu.

“Nggak semuanya bener? Tapi kamu tetep tidur sama anak cewek, ‘kan?”

Pertanyaan yang terlontar dari Bunda berhasil membungkam Hansa. Bibirnya yang terbuka untuk melayangkan pembelaan lain kembali terkatup. Kepercayaan diri untuk memberi penjelasan kini terkikis habis usai ucapan telak itu.

NoktahWhere stories live. Discover now