° 14. Terbuka, Kecewa, lantas Terluka °

543 94 6
                                    

“Abang! Ini ditaruh mana?” Dengan rumput tergenggam di kedua telapak tangannya, bocah itu menghampiri sang kakak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Abang! Ini ditaruh mana?” Dengan rumput tergenggam di kedua telapak tangannya, bocah itu menghampiri sang kakak.

“Masukin ke tong yang ada di pinggir itu, Dek. Nanti biar Abang yang angkat keluar,”  sahut sang kakak tanpa menoleh.

Sore ini, agenda Hansa adalah membersihkan rumput liar yang tumbuh di kebun belakang rumahnya. Tempat yang dipenuhi bermacam tanaman dari mulai sayur hingga bunga itu menjadi tampak lebih hijau ketika musim hujan datang. Bibit cabai yang ditanam Imam dua bulan lalu tampak mulai berbunga dan hanya butuh waktu hingga mereka bisa memanen hasilnya.

Jika di musim kemarau dia akan disibukkan dengan membantu sang ayah menyiram, maka di musim ini tugas Hansa adalah membersihkan tanaman gulma yang ikut tumbuh bersama dengan limpahan air hujan. Meski sudah dilarang karena baru beberapa hari ini kakinya sembuh dan bisa berjalan normal, tetapi rasa bosan membuat Hansa tak tahan.

Pada akhirnya, dia pergi ke kebun usai membantu Bunda mengepel dan mencuci peralatan masak yang akan digunakan untuk menyiapkan makan malam nanti. Atau bisa dibilang itu hanya inisiatifnya, sebab Bunda tak benar-benar menyuruh. Dia hanya melakukan rutinitas yang selama ini ditugaskan untuknya. Sebelum retak yang entah sejak kapan membuat ia dan Lina semakin jauh.

“Ah, aku capek,” gerutu bocah yang kini terduduk di lantai paving dengan beberapa helai rumput yang baru saja dicabut.

Seulas senyum tak bisa Hansa tahan. “Ya, udah, kamu istirahat aja. Tapi jangan duduk di situ, kotor. Duduk di bangku sana. Biar Abang selesaiin sisanya. Lagian tadi ‘kan udah dibilangin, nggak usah ikutan. Kamu, sih, ngeyel.”

Bocah itu mencebik. “Aku ‘kan mau bantuin Abang. Kalo sendiri nanti Abang capek. Kakak juga nggak mau aku ajak, pilih main sama Abdul sama Jojo,” adunya.

Hansa kembali terkekeh. Si bungsu selalu menempel padanya setiap ada kesempatan, tetapi entah mengapa bocah berpipi gembul ini justru sulit akur dengan Hasna. Padahal jika dipikir-pikir, ketika masih bayi, justru Hasna-lah yang lebih sering menemaninya bermain. Sedangkan Hansa tak bisa terlalu dekat dengan si bungsu, sebab Bunda melarangnya.

Mengulik ingatan semasa kelahiran Hasan, entah mengapa Hansa merasa nyeri menyerang dada. Masih lekat di ingatannya tentang bagaimana bahagia menyelimuti keluarga kecil ini. Semua orang mendambakan kehadirannya, dan semua pun merayakan penuh kemeriahan.

Tak terkecuali Hansa. Dia bahkan menyisakan uang saku untuk membelikan mainan, dan berharap bisa digunakan untuk menghibur sang adik yang pasti merasa bosan karena terus berbaring di kasur. Bayi tidak bisa bergerak ke mana-mana, ‘kan? Bahkan untuk buang air kecil saja harus dibantu oleh bundanya.

Namun, sejak Hasan tiba di rumah, Hansa sama sekali tak diberi kesempatan untuk mendekat. Bunda melarang, dan Ayah tak bisa berbuat apa-apa sebab khawatir dengan kondisi kesehatan Bunda pasca melahirkan. Alhasil, Hansa hanya bisa melihat adik kecilnya dari kejauhan, atau jika tidak sang ayah yang akan menggendong Hasan dan mempertemukan keduanya diam-diam. Ya, sesulit itu hanya untuk bertemu dengan adiknya sendiri.

NoktahWhere stories live. Discover now