19. Sugar for coffee

Start from the beginning
                                    

"Mas suka tinggal di Jepang?"

Dean mengerutkan keningnya dalam-dalam. Agak heran karena pembicaraan yang berusaha Sean bangun diawali oleh pertanyaan semacam itu. "Kenapa tiba-tiba banget?" Tanya Dean yang dibalas kekehan renyah Sean.

Sean menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "mendadak kepikiran aja Mas" jawabnya.

Dean menganggukkan kepalanya mengerti. Ia pun terdiam selama beberapa saat memikirkan kembali masa-masa saat dia masih tinggal di Jepang. "Suka-suka aja" jawab Dean dengan singkat.

Sean mengerutkan keningnya dalam-dalam, kurang puas dengan jawaban Dean. "Yang bener Mas? Jawabnya jangan setengah-setengah gitu"

Dean terkekeh pelan, "Ya bener, Sen. Cuma Mas nggak suka aja pas musim salju, dingin" jawab Dean. Kelihatan serius saat mengatakan hal tersebut. Dean memang kurang suka musim salju, ia cenderung lebih menyukai musim hujan. Meskipun keduanya termasuk kategori musim dingin, tapi suhu dingin ketika musim hujan tidak seburuk saat muslim salju. Pun saat musim hujan Dean bisa mendengar suara gemericik air yang begitu menenangkan pikirannya, apalagi kalau sambil ditemani secangkir kopi yang masih mengepulkan asap tipis-tipis. Nikmat duniawi sekali.

Sean ber'oh ria, "aneh banget tapi. Biasanya orang Indonesia suka salju sampe niat liburan ke luar negeri"

Dean menganggukkan kepalanya sekali, membenarkan perkataan Sean. Kebanyakan orang Indonesia itu suka salju sampai seniat itu berlibur keluar negeri yang memiliki musim salju. Namun nyatanya ketika benar-benar tinggal di daerah yang memiliki musim salju, orang-orang pasti akan merasakan bagaimana tidak nyamannya dikelilingi oleh benda putih yang bertaburan dari langit tersebut.

"Jadi kamu mau ke Jepang nih Sen?"

Sean menggelengkan kepalanya dengan tegas, menyanggah kesimpulan yang Dean ambil atas pembicaraan ini. "engga Mas. Cuma nanya aja. Soalnya kalau Mas suka di Jepang artinya Mas pindah ke sini cuma karena terpaksa aja dong"

Dean mengerutkan keningnya tidak senang, "Terpaksa apa sih Sen, ya enggak lah. Masa pulang ke rumah sendiri terpaksa sih"

"Tapi kan Mas lepasin banyak hal di Jepang. Karir Mas, temen-temen Mas, suasana selama di sana, pokoknya kehidupan yang udah Mas bangun di sana. Mas kan tinggal di Jepang udah lama banget" ujar Sean dengan tegas.

Dean terkekeh pelan mendengar perkataan Sean barusan. Entah kenapa perkataannya itu mengingatkan Dean akan rengekan Sean saat masih kecil yang sempat merasa ragu dengan status Dean yang merupakan Kakak kandungnya hanya karena Dean yang tinggal di negeri orang lain untuk waktu yang cukup lama, alih-alih tinggal bersama Sean.

Ya, nyatanya sudah sebanyak itu waktu yang Dean habiskan di negeri orang, sampai dia tidak bisa mengukir banyak kenangan bersama keluarganya. Sayangnya orangtuanya kini telah direnggut dari hidupnya. Menyisakan penyesalan yang begitu kentara dihatinya. Juga pembelajaran berharga untuk diri Dean sendiri. Bahwa mungkin keberadaan Sean sebagai satu-satunya keluarga yang ia punya adalah salah satu alasan bagi Dean untuk menebus semua perasaan itu dihatinya.

"Nggak ada yang lebih penting dari keluarga Sen, apalagi Mas cuma punya kamu" ucap Dean dengan tegas, kemudian Dean bangkit dari posisinya dan berjalan keluar dari kamar setelah sebelumnya dia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidurnya.

Meninggalkan Sean yang menatap kepergian Dean dengan tatapan bangganya karena jawaban Dean barusan.

Sesayang itu ternyata Kakaknya pada dirinya.

Dean mendudukkan dirinya di atas sofa ruang utama setelah dia membuat secangkir kopi espresso kesukaannya di lantai bawah. Dia menaruh cangkir yang dipenuhi cairan hitam pekat tersebut ke atas meja. Asap tampak masih mengepul dari cangkir tersebut, menguarkan aroma kopi yang memberikan ketenangan untuk Dean yang notabenenya menyukai segala hal tentang perkopian. Baginya kopi itu seperti aromaterapi yang menenangkan jiwanya, pun memberikan suasana yang nyaman untuk hidupnya.

Attakai CaféWhere stories live. Discover now