Bagian Keduapuluhdelapan

Mulai dari awal
                                    

"Bima, maafkan papa, nak" lirihnya. Samar-samar aku melihat guratan keriput di wajahnya. Aku pikir-pikir usianya hanya terpaut dua tahun daripada om Edrik. Namun kenapa wajah papa terlihat tua dan nggak terurus.

"UHUKK..UHUKK..Bima" lalu papa ambruk tepat di bahuku.

Aku harus melakukan apa sekarang? Apa ke rumah sakit? Tapi siapa yang akan menjaganya disana?
Tiba-tiba handphone papa berdering. Aku mencarinya di saku celana dan mengambilnya.

Id caller menampilkan nama Rania. Dahiku berkerut. Siapa Rania? Istri barunya kah? Nanti saja aku cari tahu. Kemudian aku geser tombol hijau.

"Halo mas Dandri. Mas kamu dimana? Saya sudah berada di depan apartemen kamu" cerocos wanita itu di ujung sana.

"Ehem..maaf saya bukan pak Dandri. Saya menemukan dia pingsan di jalan. Kalau bisa beritahu alamat pak Dandri. Saya yang akan mengantarnya" jawabku.

"Oh astaga! Baiklah tolong anda bawa dia ke apartemen Kalibata nanti saya tunggu di depan" kata wanita itu menjelaskan.

"Baiklah. Saya akan kesana"

Aku menggotong tubuh papa masuk ke dalam taksi dan menuju apartemen mewah itu. Satu jam kemudian aku tiba dan seorang wanita setengah baya berkacamata menyambutku.

"Apa yang terjadi, mas?" tanyanya panik.

"Nanti saja saya jelaskan. Sekarang di lantai berapa dia tinggal. Bisa beritahu aku cepat. Tubuhnya sangat berat" wanita itu tergagap dan menuju lift. Tepat di lantai 19 kami sampai. Wanita itu mencari-cari kartu masuk milik papa.

"Silakan, mas" katanya setelah pintu terbuka lebar. Aku menidurkan papa di.kamarnya. Suasana kamarnya terasa sangat hangat. Tiba-tiba perasaan aneh menyerangku. Wanita yang bersamaku tadi langsung membuka tas yang sedari tadi dibawanya. Dia mengeluarkan stetoskop. Jangan bilang kalau wanita itu seorang dokter.

Kenapa aku masih mematung disini. Seharusnya kan aku pergi. Tapi nggak tahu kenapa langkah kakiku sangat berat meninggalkan tempat ini.

"Bagaimana kondisi dia?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku.

"Kondisinya stabil. Ini pasti karena dia lupa meminum obatnya" wanita itu kembali memasukkan stetoskop ke dalam tasnya.

"Memang sakit apa?" Wanita itu langsung menoleh ke arahku. Matanya memicing seakan-akan kurang jelas melihat wajahku. "Maaf apa mas ada hubungan dengan mas Dandri?"

Tubuhku menegang. "Saya..putra pak Dandri" jawabku. Sekarang justru wanita itu nampak terkejut. Ada apa sebenarnya?

"Kamu kah Bimatrya? Kamu.."

Hey, kenapa dia mengenaliku?

◆◆

"ARRRGGGHHHH!!! BRENGSEK!!! SIAAAAL!!!" Dave meninju cermin yang ada di kamar mandinya sampai hancur nggak berbentuk. Darah segar pun mengalir deras dari tangannya. Mungkin ini nggak seberapa dibandingkan harus ditinggal oleh kekasih hatinya.

"DAVEEEE BUKA PINTUNYA!! ATAU GUE DOBRAK!!" teriak Bima dari luar. Bima yang hendak ingin ke kamar Dave, harus dibuat panik mendengar suara pecahan kaca dari dalam kamar mandi.
"DAVEEE..LO KENAPA? HEI SIALAN BUKA PINTUNYA!!"

Sia-sia Bima berteriak, di dalam pun Dave sudah sangat terluka parah karena hampir kehabisan darah.
Oma dan kedua orang tua Dave menghampiri Bima yang berteriak-teriak dari dalam kamar Dave.

Dave langsung dibawa ke ruang penindakan. Semua anggota keluarganya hanya menunggu di depan tanpa diperbolehkan masuk oleh dokter.
Bima memilih duduk di sudut ruang tunggu sambil memejamkan kedua matanya.

"Lo harus kuat, Dave. Lo harus bawa dia kembali kesini" batinnya.

"Bima.." seseorang memanggil Bima sambil menyentuh pelan bahunya. Matanya melebar saat mendapati dokter Rania yang ternyata memanggilnya.

"Kamu sedang apa disini? Papa mu sakit lagi?" tanya dokter itu ramah. Bima menggeleng pelan.

"Sepupu saya sedang di dalam, dok. Dia frustasi sampai-sampai memecahkan cermin dengan tinjunya" jawab Bima. Dokter Rania mengusap pelan punggung Bima mencoba menenangkannya sedikit.

"Sampaikan salam saya untuk sepupu mu itu. Saya harus visit ke ruang inap. Permisi" ucap dokter Rania lalu dia berjalan melewati lorong yang ramai oleh orang-orang.
Bima memandangi tubuh ramping dokter itu. Sejak kejadian itu, dia tahu segalanya dari dokter Rania.

"Saya memang menyukai papa mu. Tapi kamu tahu, apa yang papa mu katakan pada saya?" Bima menggeleng. "Dia masih sangat mencintai mendiang istrinya"

Bima harus mendapatkan satu lagi 'kejutan' dari jalan hidupnya. Setelah perdamaiannya dengan oma, apa dengan papanya akan bisa berdamai juga?

Entahlah, hanya waktu yang bisa menjawab. Sekarang yang harus dia pikirkan adalah keselamatan Dave.

-----

Happy reading and makasih binggow buat vommentnya.
Tetep pantengin terus 3S.

Lophe,
221092♥

Segitiga Sama SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang