Bagian Kedelapan - Bima POV

7K 327 3
                                    

Hari ini aku akan mengunjungi makam mama dan seperti biasa aku datang sendiri.
Aku ingin mengajak Gingga bersamaku kesini. Akan aku perkenalkan dia kepada mamaku kalau hanya Gingga-lah yang sejak dulu aku sayang.

Aku bukanlah seorang playboy yang seperti dituduhkan Dave atau teman-temanku yang lain. Tapi aku lebih kepada menyayangi cewek-cewek yang patah hati karena putus cinta.

"Bima, si Astrid nyariin lo tuh di kelas atas" seru Indra temanku. Dengan langkah semangat, aku menemui Astrid. Dia duduk di sebuah bangku panjang. Lorong kelas ini sudah sepi kalau hari menjelang siang.

Setibanya aku duduk di sebelah Astrid, dia langsung menangis di pelukanku. Aku berusaha menenangkannya. "Lo kenapa? Siapa yang sudah buat lo nangis?" tanyaku berapi-api.

Aku paling nggak suka melihat cewek menangis. Itu sama saja melihat mamaku yang pergi meratapi kepergian papa.

"Dia mutusin gue Bim. Padahal gue sayang banget sama dia" kata Astrid sambil sesegukan. Aku melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahunya. "Lo masih cantik dan lo terkenal disini. Kenapa lo masih saja mengharapkan dia?"

Astrid semakin mengeraskan suaranya. Aku pun semakin bingung dan takut kalau ada yang mendengar tangisan Astrid dan akan menuduh kami yang macam-macam.

"Gue masih sayang dia Bim. Gue..hmmppttt" terpaksa aku mencium Astrid supaya dia berhenti menangis karena aku mendengar langkah kaki menuju kemari.

Sumpah demi Tuhan aku mencium Astrid bukan karena nafsu. Ini semata-mata karena takut orang akan mendengar tangisan Astrid.
Setelah dirasa aman, Astrid menunjuk sesuatu di belakangku.

Aku putar badanku dan aku melihat Gingga berdiri di belakangku sambil memeluk bukunya. Dia tersenyum kikuk dan memilih pergi.

Damn! Dia pasti salah paham sama apa yang dia lihat barusan.

Aku berusaha mengejarnya dan nggak menemukan dia dimanapun. Sejak saat itu dia berubah drastis dan terkesan menjauh dariku.
Padahal aku ingin sekali mengatakan kalau aku mencintainya.

Namun terlambat, saat aku akan mengungkapkannya, mama menelponku agar cepat pulang.

"Mama mau kemana?" tanyaku yang bingung saat melihat mama berkemas-kemas.

"Mama mau pulang ke kampung. Kamu harus ikut mama, Bima"

"Tapi ma? Bagaimana kuliah Bima disini?"

Tangan mama berhenti memasukkan semua pakaian ke dalam koper. Mama berjalan perlahan ke arah jendela kamar yang besar.

"Kamu tahu Bima, sejak dulu oma nggak menyukai mama karena mama hanya gadis biasa dan bukan berasal dari keluarga kaya raya. Mama selama ini berusaha menahan sakit dan saat inilah mama berhenti berjuang" kata mama sambil menatap rintik hujan yang menempel di jendela.

"Mama selalu mencintai papa, tapi kenapa papamu selalu nggak bisa menolak permintaan oma? Dia selalu saja ikut campur masalah mama dan papa.
Oma kamu lebih menyayangi Sarah dibanding mama"

Aku berjalan mendekat ke arah mama dan memeluknya dari belakang. Aku bisa merasakan sakitnya batin mama. Baiklah aku nggak akan meninggalkan mama sendiri lagi.

Aku terkesiap saat sebuah tepukan di pundakku. Nampak sosok pria tua bertopi caping. Dia-lah Pak Abbas, selaku penjaga makam mama.
Sebelum mama meninggal, mama berpesan agar dia di makamkan di Jakarta supaya dia lebih dekat denganku.

"Mas Bima, oma kemari lagi" kata pak Abbas.

"Kapan?"

"Sekitar tiga hari yang lalu. Dan oma menangis di makam ibu Gita" aku tersenyum licik. Untuk apa oma kemari? Apa dia ingin menertawakan mamaku?

Segitiga Sama SisiTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon