Bagian Keempat

6.9K 386 3
                                    

Satu..

Dua...

Wajah Bima terlihat sedang menahan sesuatu. Kedua pipinya mengembung karena kopi yang belum dia telan.

"Kopinya enak kan pak?" tanyaku dengan wajah sok manis. Bima mengangguk tidak yakin. Tepat di depanku berdiri, Dave memperhatikan Bima yang sedang berusaha menelan kopinya.

"Lo kenapa Bim? Hey.." panggil Dave khawatir.

Akhirnya Bima berhasil menelan kopi di mulutnya. Dia mengelap mulutnya dengan tisu. "Nggak apa-apa kok. Kopi buatan sekretaris lo enak juga." jawab Bima sambil melirik ke arahku.

"Terima kasih atas pujiannya, pak Bima." kataku sambil tersenyum malu-malu dipuji di depan calon suamiku. Ralat, calon pacarku.

"Kalau begitu saya keluar dulu. Masih ada pekerjaan yang belum saya selesaikan." Dave mengangguk dan mempersilakan aku untuk meninggalkan ruangannya.

Barulah di luar aku tertawa lepas mengingat kejadian lucu beberapa menit yang lalu. Saat Bima memuji hasil racikan kopiku yang kelewat asin. Iya, kopi yang aku buatkan untuk Bima memang asin bukan pahit apalagi manis dengan tambahan creamer atau susu. Aku sengaja menambahkan tiga sendok garam ke dalam kopi untuk Bima. Salah sendiri Dave mengatakan "buatkan sesuai seleramu" dan inilah seleraku. Dapat dipastikan dia akan kapok memintaku untuk membuatkannya kopi lagi.

◆◆

Pesta ulang tahun kantorku tinggal dua hari lagi. Aku pun belum sama sekali mempersiapkan gaun atau sepatu baru. Lagipula aku tidak terlalu suka ke acara formal seperti itu. Tapi Sinar dan Indri terus saja memaksaku.

Akhirnya aku sampai juga di rumah tepat pukul lima sore dan seperti biasa mama dan papa belum pulang. Satria pun lagi di rumah temannya seperti yang dia bilang via sms tadi.

Aku langsung menuju kamar mandi dan luar biasa sekali berdiri di bawah guyuran shower yang membuat tubuhku rileks seletika.Setelah berpakaian aku memilih untuk tidur-tiduran sebentar di ranjang.

Tuk..suara apa itu? Aku menajamkan pendengaranku.

Tuk..suara itu lagi. Aku mencari sumber suara dekat jendela kamar.

Tuk..untuk yang ketiga kalinya.

Aku beranjak ke arah jendela kamarku dan membukanya. Hampir aku terjengkang karena melihat makhluk aneh bernama Bima di halaman rumahku. Aku melihat di tangannya ada batu-batu kecil. Oh pasti itu untuk digunakan menimpuk kaca jendela kamarku.

"Hey Gingga sini deh. Atau aku yang naik kesana?" tanyanya dengan seringai setannya itu. Aku mendengus kesal dan kembali masuk ke dalam kamarku.

"Kok kamu bawa-bawa sapu? Buat apa?" tanyanya saat aku sudah berada di depannya sekarang.

"Buat mengusir orang aneh keluar dari halaman rumahku." jawabku penuh penekanan.

Bukannya takut, justru dia cengengesan seperti kuda.
"Aku tahu kamu belum ada persiapan untuk ke acara ulang tahun kantormu kan?"

Iya!

"Nggak juga. Aku malas untuk datang kesana. Lagipula apa urusannya sama kamu?"

"Aku pengen mengajak kamu ke butik langganan ku. Mau kan?"

Mau banget.

"Nggak ah aku capek."

"Aku mau beli gaun untuk mamaku yang berulang tahun. Aku minta pendapatmu gaun mana yang cocok untuk mamaku."

Aku mengembuskan nafas kasar. "Baiklah. Tunggu di teras aku akan ganti baju."

Akhirnya Bima berhasil membujukku. Sepanjang perjalanan, dia terus saja mengoceh dan aku hanya sesekali menanggapinya.

Setibanya di sebuah butik ternama, dia mengajakku masuk. Beberapa pegawai disana memandangi kami seakan kami akan mencuri.

"Selamat datang pak Bima. Silakan masuk." sapa seorang wanita setengah baya yang aku tebak dia adalah pemililik butik.

Bima dan wanita itu sibuk berbincang soal gaun. Aku yang mulai merasa bosan, memilih berjalan-jalan di sekitar butik dan melihat-lihat aneka macam gaun dan dress yang tersedia disini.

Sebuah gaun berwarna merah terang dengan belahan panjang di paha membuat mataku takjub.
Kira-kira aku pakai gaun ini cocok apa tidak ya?

Lagi-lagi mataku dibuat takjub dengan harga yang tertera di gaun itu. Dua puluh lima juta rupiah.
Uang sebanyak itu hanya untuk sebuah gaun? Olala kira-kira kalau aku cicil sampai berapa bulan?

"Ada yang bisa saya bantu mbak?" kali seorang pegawai yang memakai hijab bertanya padaku.

"Ah nggak mba. Saya cuma lihat-lihat saja sekalian nungguin teman saya tuh." jawabku sambil menunjuk ke arah Bima.

"Oh sama pak Bima? Pasti pak Bima lagi cari gaun buat mamanya."

Aku mengangguk. "Setiap mamanya ulang tahun pasti dihadiahi gaun sama pak Bima. "

Agak terkejut aku mendengar pernyataan mbak-mbak itu. Satu fakta menarik aku dapatkan tentang Bima. Dia begitu mencintai mamanya.

Tapi kok menghadiahi mamanya gaun setiap tahun? Entahlah aku pun tidak mau terlalu ambil pusing.

Untuk seorang pemilik EO terkenal, tidak sulit membelikan sebuah gaun mahal untuk hadiah. Apalagi untuk mamanya. Tapi sebenarnya seorang ibu tidak akan menuntut anaknya untuk memberikan sesuatu di hari jadinya. Seorang ibu hanya mengharapkan umur panjang agar bisa menikmati waktu lebih lama bersama anaknya.

Dan itulah yang sudah Bima dan mamanya lewati. Menikmati kesuksesan bersama.
Aku jadi ingat, sekitar satu bulan yang lalu, saat mamaku berulang tahun aku menghadiahkan sepasang giwang dengan harga yang tidak fantastis.

Tapi bagaimanapun juga aku bangga karena itu hasil jerih payahku.

"Lagi mikirin apa sih?" tanya Bima yang tiba-tiba merangkul pundakku.
Dengan cepat aku menghindar.

"Ayo pulang. Aku capek tau."ajakku. Bima menggeleng.

"Kita makan dulu. Aku nggak mau cewek yang jalan sama aku kelaparan dan kapok jalan bersamaku."

Aku menurut saja karena memang perutku sudah lapar. Restoran yang dipilih Bima termasuk mewah.
Aneka seafood terjejer rapi di atas meja kami.

"Kamu berlebihan. Kalo nggak abis gimana ini?" protesku.

"Kita take away saja terus bawa pulang. Gampang kan?" jawabnya santai.

Aku segera melahap makanan itu satu persatu. Di sela-sela acara makanku, kami kedatangan tamu tidak diundang. Aku mengangkat sebelah alisku karena aku merasa asing dengannya. Siapa dia?

**

Vomment Please...

__Paprika Merah__

Segitiga Sama SisiWhere stories live. Discover now