Bagian Keduapuluh

5.9K 346 8
                                    

Bima sibuk mengurusi acara-acara yang memakai jasa EO miliknya. Meskipun dia mempunyai anak buah yang banyak, tapi dia nggak merasa sebagai seorang bos hanya terima beres. Dia justru ikut terjun langsung menemui customernya.

"Maaf mengganggu, pak. Ada pak Dave di ruang bapak saat ini" bisik Lisa, asistennya. Bima hanya mengangguk.
Untuk apa sepupunya merepotkan diri datang ke kantor EO miliknya di tengah tugasnya sebagai CEO perusahaan besar.
Pasti ini ada hubungannya dengan Gingga. Apalagi yang membuat Dave uring-uringan selain memikirkan gadis itu.

Bima meninggalkan ruang rapat untuk menemui Dave di ruangannya. "Ada apa lagi? Masalah Gingga?" tembak Bima tanpa basa basi saat tiba di ruangannya.

Dave langsung terkejut mendapat pertanyaan dadakan tersebut. "Lo ngangetin saja sih. Nggak bisa ketuk pintu dulu gitu?" protes Dave dan lalu mengangkat kakinya ke atas meja kerja Bima.

"Enak saja. Ini ruangan gue. Ngapain mesti ketuk-ketuk pintu dulu. Ada masalah apa?" Bima langsung duduk di sebuah sofa di dekat kursi kebesarannya.

"Orang tua gue mau balik ke Jakarta"

"Lalu? Ada masalah?"

"Hampir di usia gue yang mau kepala tiga, orang tua gue baru sadar akan keberadaan gue, Bim. Lalu mereka kemana saja selama ini? Lebih mengangungkan pekerjaan mereka ketimbang gue anaknya" Bima nampak menghembuskan nafasnya dengan kasar.

Bukankah Dave lebih beruntung darinya? Kenapa dia curhat masalah keluarga pada Bima yang notabene anak yang 'terlantar'. Sampai saat ini pun dia nggak pernah tahu keberadaan papanya. Apalagi pria brengsek yang enggan dia sebut sebagai papa lagi itu, nggak hadir di pemakaman mamanya.

"Hey kenapa lo bengong? Gue kan lagi curhat" Dave melemparkan gulungan kertas dan pluk mengenai tepat di kepala Bima. Karena merasa nggak terima, Bima bangkit dan langsung menghampiri Dave. Di jitakinya kepala Dave dan diapit di ketiaknya.

◆◆

"Gingga, kamu sudah sadar nak?" samar-samar aku mendengar suara mama. Apa aku sudah di rumah sekarang? Perlahan aku membuka mataku dan langsung cahaya matahari membuatku silau.

"Mama? Aku dimana sekarang?" tanyaku. Aku berusaha merubah posisiku dari terbaring hingga duduk bersandar di sofa. Mataku mengedar dan ini masih di ruang bu Tia.
Aha! Aku ingat sekarang. Aku tadi sempat pingsan karena aku nggak makan siang gara-gara tugas konyol dari Alina.

"Kamu kenapa bisa sampai begini sayang? Kamu belum makan?" tanya mama panik. Aku diam. Nggak mungkin aku jujur kalau Alina lah dalang dari semua ini.
Kok aku nggak menemukan sosoknya di ruang ini? Oh ya, aku lupa kalau tadi dia pergi. Bagus, sekretarisnya pingsan dan dia malah meninggalkanku.

Benar-benar deh bu Tia itu dulunya ngidam apa sih sampai-sampai memiliki anak cantik namun berhati kejam. "Makanya sayang, kamu jangan telat makan ya. Jangan suka begadang. Begini nih akibatnya" kata mama lagi.

Aku mendengar pintu berdecit. Saat aku dan mama menoleh, masuklah sosok Alina dengan..senampan piring yang entah apa isinya itu dan segelas air putih. Lalu dia menaruhnya di atas meja.

"Makanlah Gingga. Saya sudah bilang jangan terlalu keras bekerja. Sisakan tenagamu" katanya sok manis. Cih kalau saja di negara ini nggak berlandaskan hukum, sudah aku gunduli dia sampai menyerupai Upin dan Ipin. Jadilah Upin dan Ipin serta Alin.

"Gingga, itu mbak Alina lagi bicara sama kamu, nak" aku terkesiap.

"Terima kasih" kataku nyaris tanpa suara. Karena memang aku nggak ikhlas kok bilang terima kasih sama dia.

Akhirnya aku diiznkan pulang lebih awal oleh Alina. Itupun mamaku yang memaksa. Bukan memaksa sih hanya mama sangat khawatir kalau aku sampai pingsan lagi. Biarkan saja, aku mau tahu apa dia bisa menghandle semua tanpa bantuan aku? Dasar anak mami.

Segitiga Sama SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang