Bagian Keduapuluhenam

5.3K 309 8
                                    

Dave POV

"Astagaaaa!!! Kalian seperti anak kecil saja!! Berkelahi di tempat umum!! Sulit oma percaya keturunan Maharaja kelakuannya nggak jauh beda sama preman kampung!!" teriak oma saat mengetahui aku dan Bima berkelahi di dalam Starbucks. Kondisi kami berdua memang sangat mengenaskan. Pakaian kami sudah sama-sama nggak beraturan.

Aku yang duduk di sebelah Bima, hanya bisa meringis karena luka lebam yang aku terima dari si bocah tengik, Bima. Sudut bibirku robek dan pelipis ku juga.
Kalau Bima hanya terluka di bagian rahangnya yang membengkak.

Aku akui saat SMA dia memang jagoan ilmu beladiri. Mulai dari pencak silat, taekwondo sampai karate pun dia kuasai.

"Apa kata klien-klien kamu Dave melihat kamu yang babak belur kayak maling ayam begini. Aduhh..oma nggak bisa bayangin deh" gerutu oma. Tepat di sebelahku, Bima terkikik geli saat aku kena semprot oma.

"KAMU JUGA BIMA!! Turun sudah pamor mu sebagai don juan. Wajah babak belur kayak gitu mana ada lagi cewek yang mau sama kamu, huh?" Aku lirik ternyata Bima hanya diam dan tertunduk.

Sedangkan di sebrang kami, mama dan papa hanya sebagai penonton yang dibayar. Macam penonton di acara musik pagi itu.

"Sekarang jelaskan, apa yang membuat kalian berkelahi? JAWAB!!" bisa nggak sih pelan-pelan ngomongnya. Telingaku sampai sakit mendengar oma berteriak terus.

Aku menyenggol siku Bima agar dia saja yang menceritakan semuanya pada oma. Tapi dia tetap saja diam namun aku melihat dia mengepalkan tangan kirinya sangat keras. Sampai buku-buku tangannya saja memutih. Apa yang dia pendam? Kalau marah? Marah untuk apa?

"DAVEEEE!!! BIMAAAA!! JELASKAN PADA OMA!!"

Flashback on :

Aku mengepalkan tanganku saat melihat Bima bertemu dengan Gingga. Apa yang mereka bicarakan? Nampak Gingga seperti sedang menangis. Apa yang sudah Bima katakan? Apa dia menyakiti gadisku?

Bima menggenggam erat tangan Gingga dan menciuminya. Hatiku panas seakan-akan ada teko berisi air panas mendidih di atas kepalaku.

Ya Tuhan!! Bima..mencium Gingga. Ini nggak bisa dibiarkan. Lantas aku membuang handphone ku yang sudah terbelah dua itu ke lantai kafe. Persetan dengan orang-orang disini.

Tinggal satu langkah lagi aku tiba di tempat mereka. Mereka belum menyadari kehadiranku. Lalu aku tarik kerah baju Bima dari belakang. And then..

Bug..

Aku meninju tepat di rahang Bima. Dia tersungkur. Gingga pun histeris dan mencoba menolong Bima.

"LO BILANG KALO LO UDAH MUNDUR, BIM!! TERNYATA LO BRENGSEK JUGA YA!!!" hardik ku. Mataku mengedar ke penjuru kafe dan mereka semua sangat terkejut. Bahkan ada yang mengabadikan perkelahian kami dengan kamera handphone mereka. Sial, dia kira kami sedang syuting FTV?

Bug..

Aku tersungkur. Darahpun mengalir dari sudut bibirku yang robek. Aku menyeka darah yang keluar dari sudut bibirku dengan ibu jari.

"Itu buat lo yang udah nyia-nyiain cewek yang sayang sama lo!" kata Bima sesaat dia berhasil meninjuku.

Bug..

Aku kembali tersungkur. Kali ini pelipisku yang jadi incaran Bima. Pusing sekali kepalaku.

"Dan itu, bonus dari gue!" sambungnya.

Lalu datang security kafe dan seseorang berpakaian necis yang aku rasa adalah manager kafe. Untunglah oma datang tepat waktu sebelum kami berdua dijebloskan ke penjara.

Flashback off:

◆◆

Gadis itu terpukul. Dia hanya mengurung diri di kamar tanpa mau bertemu siapa-siapa. Obsesinya memang ingin mempunyai karir dan pendidikan yang tinggi. Tapi dia nggak menyangka kalau jalan yang harus ditempuhnya serumit ini.

Tok..tok..tok..

Mamanya terus saja membujuknya untuk makan namun Gingga bertambah terpuruk saat mendengar suara mamanya. Ingin sekali dia memeluk mamanya dan menangis di pangkuan sang mama tercinta.

"Bisa mama bicara sebentar sama kamu, sayang?" tanya mama dari balik pintu.

Akhirnya Gingga mau menemui mamanya. Dibukanya pintu putih tersebut lalu menghambur ke pelukan mamanya.

"Sabar ya sayang, Tuhan tengah mengujimu supaya kamu naik kelas. Mama yakin dibalik ini semua kamu akan bahagia di akhirnya. Trust me, darl" sang mama mengelus pelan punggung Gingga.

"Apa Gingga harus menerima tawaran beasiswa itu, ma?" tanya Gingga.

Kemudian mamanya melepaskan pelukan dan memegang kedua bahu Gingga. "Mama mendukung apa saja keputusanmu. Mama percaya kamu sudah dewasa untuk mengambil sebuah keputusan" jawab sang mama.

Bima mengunjungi sebuah pub untuk melepaskan penat yang sangat mencengkramnya sekarang. Mungkin dengan sebotol-dua botol whisky bisa membuatnya plong.
Kedatangan Bima di pub kelas atas ini membuat beberapa wanita mendekatinya.

Nggak hanya mendekati tapi juga ada yang berani-beraninya mengajak 'kencan' singkat di hotel. Ini bukan hal hebat yang baru pertama dialami Bima.
Ini kejadian biasa untuknya. Sudah lama dia nggak pernah menginjakkan kakinya di tempat ini semenjak kematian mamanya.

"Hay tampan. Apa kabar?" seorang wanita berambut panjang dan berpakaian serba mini mendekat sambil mengelus punggung lebar milik Bima.

"Baik. Please, aku ingin sendiri. Don't disturb to me" kata Bima.

"Kamu mau menghilangkan penat secara cepat? Pergilah denganku, tampan" wanita itu terus saja menggoda Bima.
Karena sudah nggak tahan, Bima memilih keluar dari pub.

Bima pun kesulitan mencari kunci mobilnya di dalam saku. Setelah ketemu, kunci tersebut justru jatuh dan masuk ke dalam parit yang kering.
Berkali-kali Bima mengumpat sambil duduk di samping mobilnya.

Tiba-tiba sebuah tangan terulur untuk membantunya bangkit.

◆◆

Dave duduk di balkon kamarnya sambil menghisap sebatang rokok. Dihisapnya rokok itu dalam-dalam kemudian asapnya dia hembuskan ke udara.
Pikirannya kalut. Bagaimana bisa dia segitu marahnya pada Bima saat dia melihat sepupunya itu mencium Gingga di kafe kemarin.

Gingga, gadis itu hanya terdiam karena shock melihat perkelahian mereka. Pasti setelah ini, Gingga makin menjauhinya. Sebut dia brengsek kalau sampai membuat gadisnya menangis.

Tuhan, sesakit inikah mencintainya? Ini justru lebih menyakitkan daripada ditinggal Alina dulu.

"Dave.." panggil Edrik, papanya. Dave masih diam di balkon tanpa perlu menoleh ke arah pintu kamarnya. Edrik bersandar pada pintu yang menuju balkon sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Dave, papa paham apa yang lagi kamu rasakan. Dulu pun papa harus berjuang mati-matian untuk menikahi mama mu karena pada saat itu papa dikenal sebagai pria yang suka berganti-ganti pasangan. Tapi, dengan tekad dan cinta yang kuat akhirnya hati mama mu luluh"

Kini Edrik sudah duduk di sebelah Dave sembari mengambil rokok yang tengah dihisap oleh anaknya itu dan membuangnya ke lantai lalu menginjaknya. "Ini bukan pria sejati namanya. Menyelesaikan masalah dengan menyakiti diri sendiri. Kejar dia, Dave. Jangan pernah melepaskannya lagi"

Dave tertegun mendapat nasihat dari papanya. Tekadnya bulat. Dia harus memperjuangkan Gingga.

------

Post lagi!!!! Yuhuuuu...

Makasih buat jejaknya. Tetep vomment ya..

Lophe,
221092♥

Segitiga Sama SisiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora