Bagian Keempatbelas

5.9K 365 5
                                    

"Mbak Gingga! Makan dulu disuruh mama!" teriak Satria dari bawah. Sebenarnya aku sedang memikirkan apa sih, sampai-sampai teriakan Satria barusan membuatku terkesiap. Aneh, belakangan ini aku sering melamun.

Aku klik tombol minimize pojok kanan layar laptop dan segera meninggalkan tugasku sebentar untuk mengisi perutku yang sudah lapar.

"Gimana kerjaan kamu di kantor, sayang?" tanya papa.

"Baik dan lancar-lancar saja kok, pa." jawabku lemas. Seharusnya aku bilang kalau disana buruk. Aku terjebak cinta lokasi sama bos ku sendiri dan terlibat cinta terlarang dengan sepupu bos ku itu. Salah, bukan aku yang terlibat cinta terlarang tapi Bima. Bukannya aku geer tapi dia selalu saja "menghantui" ku padahal dia tahu aku menyukai bos ku yang nggak lain adalah sepupunya sendiri.

Tapi, sekarang ceritanya akan beda. Aku nggak akan mungkin memilih mereka berdua karena keutuhan keluarga mereka jauh lebih penting dari sekedar perasaanku ini.

Aku memilih mundur dari kehidupan mereka. Terserah kalau aku dibilang gampang menyerah. Tapi sekali lagi aku bilang kalau aku lebih memilh mereka-termasuk oma-bahagia.

Aku masih ada orang tua lengkap, adikku yang menyebalkan tapi menghibur dan juga kedua sahabatku Sinar dan Indri.
Mereka bisa menghiburku.
Sedangkan Bima dan Dave, meskipun mereka dua cowok tajir tapi mereka nggak bisa menemukan keutuhan dan kehangatan sebuah keluarga.

Aku akui kalau kedua orang tuaku juga worka holic, tapi aku lebih beruntung sedikit karena mereka akan menjadi orang tua seutuhnya kalau berada di rumah.

"Kata Satria kamu punya pacar ya?" selidik mama. Aku menoleh horror ke arah Satria di sampingku yang pura-pura menulikan telinganya.

"Nggak ma. Gingga masih seorang jomblowati." kataku meringis.

"Mbak nggak boleh gitu. Masa nggak ngakuin pacarnya sendiri. Nanti mas Bima kecewa loh?" sahut Satria.

Lihat, dia sudah berani menyahuti obrolanku dengan mama. "Bima bukan pacar aku. Jangan sok jadi wartawan infotainment deh." aku mengacungkan garpu di depan wajahnya.

"Awwww...sakit papa!" telingaku sukses dijewer oleh papa.

"Gimana mau dapat jodoh kalo kelakuan gitu kayak preman." kata papa. Satria yang merasa dibela, memeletkan lidahnya ke arahku.

"Kamu juga Satria, jangan suka ngeledekin mbak kamu. Urusin tuh sekolah kamu. Dari SD sampai kelas dua SMA mana pernah papa lihat kamu dapat ranking di kelas." aku balas mengejek ke arah Satria. Bocah itu hanya mendengus kesal.

Selesai makan malam, rutinitas kami biasanya duduk di ruang tengah sambil menonton acara di televisi.

Di tengah-tengah asyiknya kami menonton telpon rumah berdering. Mama langsung beranjak menuju telpon yang terletak di atas nakas dekat televisi. Sepertinya mama bicara serius dengan seseorang di telpon. Hampir lima menit mama menelpon.

"Aduh pusing!" seru mama setelah menutup telpon.

"Kenapa ma?" tanya papa. Aku yang sibuk dengan setoples kacang atom ikutan pasang kuping.

"Itu pa, bu Tia atasan mama nanyain orang baru untuk jadi sekretarisnya. Soalnya sekretaris yang lama mengundurkan diri. Mama kan belum dapat instruksi buat buka lowongan di tempatnya" kata mama sedih.

Tring!

Sebuah lampu di atas kepalaku menyala. Apa aku saja yang menjadi sekretaris bu Tia dan aku re-sign dari kantor Dave. Dengan begitu, aku nggak akan berurusan dengannya lagi.

"Ma, bu Tia lagi butuh sekretaris ya?" Mama mengangguk lemah.

"Kalau aku yang melamar jadi sekretarisnya, bisa kan?" tanyaku dengan senyum menawan.

Segitiga Sama SisiWhere stories live. Discover now