Bagian Kedelapanbelas

5.9K 348 5
                                    

Selama perjalan pulang, Gingga lebih memilih diam daripada mengobrol dengan Satria. Meskipun obrolan mereka akan berakhir dengan adu mulut. Tapi itulah serunya memiliki saudara.

Terkadang bisa diajak berantem dan nggak jarang pula bisa akur layaknya Spongebob dan Patrick.

"Mbak, mama beliin pancake durian loh!" seru Satria sesaat mereka tiba di rumah. Gingga berlalu tanpa menghiraukan Satria. Cowok itu hanya mendengus kesal. Kalau saja mbaknya itu nggak ancam uang jajannya, pasti rambut panjang mbaknya itu sudah dijambak habis-habisan oleh Satria.

"Kamu kok nggak bareng mama tadi, Ging?" tanya mamanya.

"Aku nggak mau kita dibilang KKN makanya aku lebih memilih pulang sama Satria. Yaudah aku ke kamar dulu ya ma. Capek" ucap Gingga lemas. Lalu Gingga berjalan lunglai menuju kamarnya.

Tepat di belakang Gingga, adiknya yang jahil menjulur-julurkan lidahnya ke arah Gingga. "Mbak kamu kenapa, Sat?" tanya mama. Satria hanya mengedikkan bahu.

Sesampainya di kamar, dia melempar tasnya ke kasur dan merebahkan dirinya barang sebentar saja. Gingga merentangkan kedua tangannya berharap dia bisa melupakan Dave. Agak sulit memang melupakan seseorang yang sudah menjadi bagian dari hidup kita. Itulah yang Gingga rasakan.

Ketika egonya mengalahkan perasaannya dia hanya mampu menangis sebagai bahasa pengungkapannya. Handphonenya berdering menampilkan nama Indri di layarnya.

"Halo dear..." salam Indri dari ujung telpon sana. Gingga menghapus air matanya agar tidak ketahuan Indri kalau dia sedang menangis.

"Halo to my dear. Gimana kabarmu, Ndri?" tanya Gingga senormal mungkin.

"Baik kok. Gingga, aku minta maaf ya. Soalnya-" Indri mengatur nafasnya dan terdengar menghela nafas. Itu membuat Gingga menaikkan sebelah alisnya.

"Soal apa, Ndri?"

"Aku sama Sinar nggak sengaja ngomongin kamu kalo sekarang kamu kerja di Permata Hijau.."

"Terus?"

"..terus nggak sengaja ada bos Dave di belakang kita. Satu lift pula. Aku rasa dia denger apa yang kita obrolin. Maaf ya Gingga aku langgar perjanjian untuk nggak bilang siapa-siapa. Eh tapi nggak salah aku juga dong, kan akunya nggak tahu kalo ada bos Dave di belakang aku sama Sinar. Iya kan?"

Gingga menghembuskan nafasnya kasar. Berarti tadi Dave ke Permata Hijau karena sekarang dia tahu dimana dirinya berada.

◆◆

Sudah rapi seratus persen dan Gingga siap berangkat ke kantor. Dia berharap kalau hari ini tidak ada yang akan mengganggu moodnya. Salah, dia baru sadar kalau mulai hari ini dia akan bekerja di bawah perintah Alina.

Ah, bu Tia semoga kau tidak betah di kampung!

Rumah sepi seperti biasa kalau di pagi hari. Gingga duduk sendiri di meja makan sambil mengolesi selembar roti tawar dengan selai kacang kesukaannya.
Belum sempat dia memakan rotinya, terdengar pintu diketok.

Siapa pagi-pagi begini bertamu?

Dengan langkah malas, dia menuju pintu. "Good morning, my princess!" seru Bima sembari memperlihatkan senyum lima jarinya.

"Kamu belum berangkat kerja? Ayo sekalian aku mau Permata Hijau karena ada urusan disana" ucap Bima sambil menarik tangan Gingga.

"Tunggu Bima. Aku belum ngambil tas. Lagian aku belum sarapan"

"Ambil tasmu cepat. Tiga pulih detik dari sekarang. Dan untuk masalah sarapan, aku sudah membelikanmu sesuatu"

"Tapi-" belum melanjutkan ucapannya, Gingga sudah didorong masuk kembali ke dalam rumah untuk mengambil tas kerjanya. "Sepuluh detik lagi, Gingga!" teriak Bima dari luar.

Segitiga Sama SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang