Bagian Ketujuhbelas

6K 356 7
                                    

Dave POV

Dua minggu nggak bertemu dengan Gingga itu rasanya buruk sekali. Memendam rindu yang nggak akan pernah berujung.

Rasa gengsi yang begitu besar membuatku enggan bertanya perihal kepergian Gingga pada sepupuku. Nanti yang ada dia akan menertawakanku habis-habisan. Aku nggak habis pikir kenapa harus dia yang keluar dari kisah cinta segitiga yang rumit ini?
Seharusnya yang mundur kan aku. Nggak juga sih. Aku pun nggak ingin itu terjadi.

Aku parkirkan mobilku di tempat khusus petinggi perusahaan. Beberapa karyawan yang nggak sengaja bertemu denganku sepanjang jalan, hanya tertunduk sambil melemparkan senyumnya.

"Ndri, pokonya bulan ini si Gingga harus traktir kita di gaji pertamanya. Ya nggak?" aku mendengar seseorang berbincang-bincang tentang Gingga. Sepertinya aku harus pasang telinga. Mungkin dengan ini satu-satunya cara aku tahu dimana dia sekarang.

"Ya iyalah. Secara dia kerja di..dimana, Nar?" cewek bertubuh gemuk di depanku ini aku kenali sebagai sahabat Gingga.

"Di Permata Hijau. Ah pikun banget sih kamu, Ndri" jawab gadis yang bertubuh lebih kurus.
Sengaja aku lebih memilih naik lift khusus karyawan karena aku paling nggak betah naik lift khusus karena disana sepi.

Di kotak kedap suara itu aku hanya berdiam diri sendirian. Oh aku nggak bisa seperti itu. Lebih baik aku membaur dengan mereka sambil sesekali memberikan mereka 'semangat' untuk bekerja setiap pagi. Siapa tahu dengan melihatku, mereka lebih giat datang ke kantor pagi-pagi.

Ting!

Pintu lift terbuka dan ada beberapa orang yang ikut bersamaku. "Pagi pak Dave" sapa Gideon, salah seorang tekhnisi.

Aku hanya melempar senyum dan aku lihat kedua sahabat Gingga tersenyum kikuk karena melihatku. Sekarang aku tahu dimana tempat kerja Gingga sekarang. Permata Hijau.

Tunggu, itukan..

♥♥♥♥♥

Dua buah berkas penting akan Gingga berikan pada bu Tia untuk segera di tanda tangani.
Setelah mengetuk pintu sekali, dia dipersilakkan masuk.

Bu Tia memeriksa berkas tersebut lalu menandatanganinya sebagai persetujuan. Setelah selesai, Gingga pamit untuk kembali ke mejanya.

"Oh ya Gingga saya lupa satu hal" Gingga memberhentikan langkahnya yang sejengkal lagi akan sampai di depan pintu.

Dia kembali menghampiri meja bu Tia. "Ada apa, bu?" tanya Gingga.

"Duduklah" Gingga menurut dan duduk di kursi yang tepat di hadapan bu Tia.

"Begini, untuk beberapa hari ke depan saya akan mengunjungi ibu saya di Pontianak dan saya sudah meminta anak saya untuk menggantikan tugas saya di kantor" kata bu Tia.

Gingga nampak mengerutkan dahinya. Sepertinya Gingga lupa satu hal. Dia sama sekali belum mengetahui kalau bu Tia mempunyai anak yang mampu menggantikannya sementara. Dia pikir bu Tia masih berusia muda yang mempunyai anak rata-rata masih sekolah. "Sebentar lagi anak saya akan kemari. Saya akan mengenalkannya sama kamu. Oke, kamu bisa kembali ke tempatmu"

Gingga kembali ke mejanya dan meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi.

"Kira-kira anaknya bu Tia kayak apa ya bentuknya? Yang pasti kalo dia perempuan cantik sekali kayak bu Tia. Kalo ganteng...kayak Dave nggak ya?" batin Gingga. Buru-buru dia tepis pikiran gilanya.

Ting!

Gingga menoleh ke arah lift yang baru saja terbuka. Matanya agak menyipit untuk memastikan kalau yang datang memang Alina. Ya..ALINA.

Dengan angkuhnya Alina berjalan melewati meja Gingga tapi dengan sigap Gingga menahannya. "Maaf mbak Alina. Bu Tia sedang sibuk. Apa mbak sudah buat janji dengan beliau?" tanya Gingga ramah.

Mata Alina yang memakai soft lens berwarna abu-abu itu memutar karena merasa jengah langkahnya dihalangi Gingga. Rival terbesarnya dalam memperebutkan hati Dave.

"Harus gitu aku buat janji sama MAMI ku sendiri?" kata Alina sombong dengan penekanan.
Alina kembali melewati Gingga sambil menyenggol bahu Gingga dengan lumayan keras karena sampai membuat Gingga mundur beberapa langkah ke belakang.

"Jadi..Alina yang di maksud bu Tia sebagai anaknya? Hamsyongg" berkali-kali dia menepuk jidatnya.

Telpon di meja Gingga berdering. Line telpon dari ruang bu Tia. Pasti bu Tia akan memperkenalkan Alina pada dirinya. Itu pasti.

◆◆

"Gingga, kamu mau bareng sama aku nggak?" tanya Ayu menawarkan tumpangan di motor maticnya.
Sudah hampir sepuluh menit jam bubaran kantor dan Gingga masih betah menunggu Satria di depan gerbang.

"Nggak usah Yu terima kasih. Aku lagi nunggu ade aku jemput"

"Yaudah deh aku duluan ya. Sampai jumpa besok"

"Hati-hati ya" suasana kembali sepi. Semenjak Gingga pindah ke Permata Hijau, Satria mau menjemput Gingga karena jaraknya yang nggak terlalu jauh dari rumah. Nggak seperti saat di Maharaja Group yang jauh dari rumah. Lagipula hitung-hitung bocah itu akan dapat uang jajan tambahan.

Sesekali Gingga melirik jam tangannya yang bertengger manis di tangan kanannya. "Ini anak kemana sih? Awas saja kalo terlambat. Aku potong uang jajannya" gerutu Gingga.

Tin..tin..suara klakson memekakan telinga sekaligus membuat Gingga terkejut. Padahal dia sudah rapat dengan tembok. Diliriknya mobil honda Jazz ungu milik Alina. Lalu kaca mobil itu terbuka. Menampilkan sosok Alina yang setiap saat terlihat cantik.

"Mbak Alina, mau pulang ya? Hati-hati di jalan ya mbak" ucap Gingga. Bukannya membalas sapaan dari Gingga, Alina malah menutup kembali jendela mobilnya.

"Gingga?" panggil sebuah suara yang sudah dirindukan Gingga belakangan ini. Saat dia menoleh, dia melihat Dave. Mata mereka saling bertemu. Terlihat sekali kalau mereka sama-sama memendam rindu. Seketika udara di sekitar Gingga menipis. Ini sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Dia pikir, dia nggak akan bertemu dengan Dave lagi. Tapi lihat sekarang.

Gingga nampak kikuk dipandangi seperti itu oleh mantan bosnya. Lalu Alina datang mengacaukan suasana dan merangkul lengan kokoh milik Dave yang masih terbalut jas hitamnya.

"Sayang, kamu kok nggak bilang kalo mau kesini. Aku kan nggak usah bawa mobil tadi. Atau aku titip saja ya mobilku di kantor" Alina terus saja bergelayut manja. Mirip baby monkey saja.

Gingga seakan tertampar ke dunia nyata. Dia sudah berjanji nggak akan mengharapkan pria itu lagi. Melihat Dave bersama Alina membuat Gingga ingin buru-buru pergi dari tempatnya berpijak sekarang.

GRENG..GRENG..GRENG..

Untunglah Satria datang di waktu yang tepat jadi dirinya nggak perlu berlama-lama menyaksikan adegan romantis layaknya Rahul dan Anjali itu.

"Mbak Alina, saya duluan ya. Permisi" tanpa menoleh ke arah Dave, Gingga memilih menghampiri Satria.

"Mbak Gingga...itu..itu..kan.." tanya Satria sambil menunjuk ke arah Dave dan Alina.

"Ayo kita pulang, Sat. Jangan banyak omong atau mbak potong uang jajanmu" ancam Gingga.
Dan Satria memilih diam. Dia paling takut kalau kakaknya itu mengancam uang jajannya.

Gingga takut khilaf akan menangis di depan Dave sambil meraung-raung dan mengatakan kalau dia begitu merindukan Dave kalau saja dia masih berlama-lama disana.

------

Haapppyy thursdaynight!!

Aku bawakan chapter 17. Bagi vommentnya ya. Betewe, makasih buat yang setia sama storyku ini.

Aku juga masih fokus sama storyku yang lain judulnya..
On Air ( secret admirer )

Lophe,
221092♥

Segitiga Sama SisiWhere stories live. Discover now