|36|

190 24 7
                                    

💙💙💙💙

Ara duduk di dapur dengan sebelah tangan menopang dahu dan jari jemari mengetuk meja. Perasaannya gelisah tidak menentu, ia bingung sekaligus bimbang.

"Dipanggil dari tadi nggak nyahut tahunya lagi asik ngelamun di sini."

Mendengar suara yang atasan, Ara langsung menoleh. "Eh, Bapak manggil saya?"

"Lagi ngapain sih mau mikir sarapan apa? Udah bocor? Emang udah tanggalnya? Maju?"

Ara menggeleng. "Enggak, Pak, belum kok. Masih aman. Belum bocor saya."

"Terus ngapain? Kamu saya bayar untuk ngurusin saya, Zahra, bukan jadi temen berangkat ngantor doang."

"Maa, Pak, Bapak butuh bantuan apa?"

"Jam tangan. Kamu belum siapin jam tangan saya, Zahra."

"Astaga, Pak, perkara jam tangan doang?"

Garvi langsung berkacak pinggang saat mendapat protes dari Ara.

Perempuan itu menghela napas. "Pak, saya tahu koleksi jam tangan Bapak nggak sedikit wajar kalau Bapak bimbang milihnya. Tapi masih ada alternatif capcipcup kembang kuncup loh. Heran banget," gerutunya sambil berjalan meninggalkan Garvi menuju kamar pria itu.

Garvi kemudian mengekor di belakangnya. "Kamu berencana makan gaji buta?"

Pertanyaan Garvi membuat Ara menghentikan langkah kakinya dan berbalik. "Gimana, Pak?"

"Nyiapin keperluan saya itu job desk kamu, kalau masih saya lakukan sendiri bukannya itu artinya kamu makan gaji buta?"

Kali ini Ara memilih tidak membalas dan langsung bergegas masuk untuk mengambilkan jam tangan pria itu. Tolong siapa pun ingatkan dirinya agar tidak memaki bosnya ini.

"Nih, mau dipakaikan sekalian, Pak?" tawar Ara namun menggunakan nada yang sedikit sarkas.

Garvi menggeleng sambil menerima jam tangan itu dan langsung memakainya. "Langsung pakaikan dasi saja," ucapnya kemudian.

"Bapak mau sampe kapan sih minta dipakaikan dasi terus sama saya?"

"Kalau sekarang saya kepikiran kamu terus yang pakaikan dasi saya."

Ara langsung melotot tajam. "Maksudnya?"

"Ya, kalau kamu nikah sama saya itu artinya tetap kamu kan yang pakaikan dasi untuk saya?"

Karena semakin kesal dengan kelakuan sang atasan, kali ini Ara menarik simpul dasi sang bos sedikit lebih kencang.

"Zahra, Zahra, kekencengan!" tegur Garvi sambil menepuk pelan lengan Ara.

"Biar Bapak trauma saya pakaikan dasi."

Garvi terkekeh. "Mental saya nggak mudah trauma hanya karena hal sepele."

"Ah, Bapak stop nyebelin nggak sih? Saya lagi puasa loh."

"Saya juga," balas Garvi tidak mau kalah.

"Tapi saya nggak nyebelin."

Garvi langsung mendengus. "Ya, itu menurut kamu. Menurut saya, kamu juga nyebelin loh."

"Ya udah, kalau nyebelin ngapain Bapak mau ngajak saya nikah?"

"Soalnya saya bisa ngadepin kamu meski kamu nyebelin. Kalau seseorang membuat saya kesal dan saya merasa nggak bisa menghadapi dia, saya rasa saya nggak boleh menikahi dia. Begitu sebaliknya. Karena menikah untuk jangka panjang dan seumur hidup jadi saya harus siap."

Ara terdiam seketika. Apa yang diucapkan sang atasan ada benarnya juga, karena pernikahan memang untuk jangka panjang. Pernikahan juga bukan melulu soal cinta karena bisa jadi seiring berjalannya waktu cinta itu bisa memudar. Tapi menghadapi keburukan sikap seseorang dan kita bisa menghadapinya menurutnya itu cukup diperlukan.

Bossy or Besty?Where stories live. Discover now