|7| Dika Ngambek

170 32 7
                                    

💙💙💙💙

Sesuai permintaan sang kakak, sore itu Dika memutuskan ke apartemen sang kakak. Lagi pula ia juga tidak punya rencana sore itu, temannya di Indonesia sangat sedikit dan masing-masing dari mereka juga punya kesibukan sendiri-sendiri. Alhasil, ia memang cukup gabut karena hampir tidak memiliki waktu bermain bersama teman-temannya. Ia mutuskan sekolah di luar negeri ketika masuk SMA, ia juga termasuk yang jarang pulang, jadi wajar kalau ia tidak memiliki teman di sini.

Saat Dika sampai di apartemen Garvi, pria itu terlihat seperti baru selesai gym, terlihat dari peluh keringat yang masih menghiasi wajah tampan sang kakak.

"Gue mandi bentar," ucap Garvi setelah membukakan pintu dan mempersilahkan sang adik masuk.

Dika tidak berkomentar, sang adik hanya mengangguk paham lalu Garvi langsung bergegas menuju kamarnya. Sedangkan Dika sibuk melihat-lihat isi apartemen sang kakak. Apartemen Garvi termasuk cukup mewah, luas dan terawat. Batinnya bertanya-tanya, seberapa sering ART yang pria itu sewa untuk membersihkan tempat ini? Karena Dika cukup yakin kalau kakaknya ini tidak mungkin membersihkan semuanya sendiri.

Kaki Dika kemudian melangkah mendekat ke dapur, membuka pintu kulkas lalu berdecak kesal. Tidak ada apapun kecuali beberapa botol mineral, kotak susu ukuran sedang yang tinggal setengah, dan beberapa buah-buahan yang tinggal dua buah.

Astaga, Tuhan, bagaimana sang kakak bertahan hidup selama ini?

"Nyari apa?" tanya Garvi yang baru keluar dari kamarnya dengan kaos putih dan celana pendeknya.

"Makanan. Gila, Mas, lo selama ini hidup gimana deh. Kenapa nggak ada apa-apa di kulkas lo?"

Garvi terkekeh samar, ia sampirkan handuk kecilnya yang tadi sempat ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Tangannya kemudian meraih ponselnya lalu menggerakkannya pelan.

"Jangan kayak orang susah, Dik, apa-apa sekarang bisa pake ini," ucapnya bangga.

Garvi kembali meletakkan ponselnya dan melanjutkan kegiatan mengeringkan rambutnya, yang tadi sempat tertunda.

"Mas, kalau emang nggak bisa hidup sendiri mending lo tinggal bareng Mama deh. Makan makanan di luar terus-menerus itu nggak bagus, nggak baik buat kesehatan. Apalagi kita nggak pernah tahu mereka masaknya gimana."

Dika berdecak sambil mengomel. Kalau sedang mode begini mungkin kebanyakan orang akan berpikir kalau Dika lah kakaknya, bukan sebaliknya. Untuk berbagai hal harus Garvi akui kalau sang adik lebih dewasa dan bijaksana jika dibandingkan dirinya. Apalagi sang adik sangat mandiri, apapun bisa dilakukan sang adik. Mulai dari beberes hingga memasak. Berbanding jauh dengan dirinya yang payah dalam melakukan hal-hal sederhana. Contoh saja memakai dasi, ia bahkan sampai harus dipakaikan Ara, sang personal asisten.

Garvi tersenyum tipis. "Tenang aja, gue langganan catering sehat kok. Enggak sembarangan juga makannya, but, thanks karena udah peduli."

"Tetep aja lah, Mas, emang lo juga nggak bosen makan makanan catering terus?"

"Emang lo bosen kalau makan nasi?" Garvi balik bertanya dan langsung disambut decakan sebal dari sang adik.

"PA gue gimana?"

Dika merasa aneh dengan pertanyaan sang kakak. "Apa nih? Kenapa tetiba nanya PA lo dan bukannya nanya kabar gue dulu?" protesnya kemudian.

Mau bagaimana pun juga mereka sudah lama tidak berjumpa. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali sang kakak mengunjunginya.

"Lo sehat-sehat begini ngapain gue nanya kabar? Basi banget," balas Garvi membuat Dika langsung berdecak kesal.

"Anjir, Mas, lo tahu nggak sekarang yang keliatannya baik-baik aja itu justru bisa jadi lagi nggak baik-baik aja?"

Garvi mengedip beberapa kali lalu menatap sang adik dengan ekspresi seriusnya. "Lo lagi nggak baik-baik aja?"

"Bukan itu intinya, Mas. Maksud gue minimal tanyain kabar gue dulu kek. Masa nanyain PA lo?" Dika menatap sang kakak dengan ekspresi kesalnya, "lagian kenapa sama PA lo? Dia kah yang bakalan jadi calon kakak ipar gue?" Dika kemudian menegakkan tubuhnya, "oke, kalau menurut penilaian gue sih not bad, cantik, manis, keliatan pinter terus juga cekatan. Sat set, cocok banget sih kayaknya sama lo yang perfeksionis tapi nggak bisa apa-apa sendiri. Kalau mau lo bawa ke rumah lolos sih gue rasa."

"Ngawur! Calon kakak ipar lo bukan dia."

"Lah? Terus?"

"Ntar, kapan-kapan gue kenalin. Dia sibuk banget soalnya."

Dika langsung tertawa meremehkan. "Dih, sok artis banget calon ipar gue, sibuk alasannya. Bilang aja dia nggak siap ketemu gue sama nyokap-bokap. Basi."

"Dia emang beneran sibuk, dia model plus influencer. Dan gue rasa sekarang udah masuk itungan kalau dia itu artis."

"Terus PA lo, kenapa?"

"Buat lo."

"Hah?" Dika melongo selama beberapa saat, ini sang kakak tidak sedang mabuk bukan?

"Maksudnya gimana? Lo pengen gue masuk perusahaan keluarga terus dia yang jadi PA gue gitu?"

"Enak aja," sahut Garvi tidak setuju, "nyari PA kayak Zahra itu susah, ya kali gue kasih ke lo."

Dika masih tidak paham. "Lha terus?"

"Lo kalau gue jodohin ke dia mau nggak?"

"Fix, lo nggak waras, Mas," komentar Dika sambil geleng-geleng kepala dan berdecak heran. Pria itu langsung berdiri dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.

Sedangkan Garvi malah merebahkan tubuhnya pada badan sofa. Karena ia tahu sang adik pasti akan menyusulnya.

"Kata gue, lo gila, Mas," ucap Dika setelah kembali ke ruang tengah sambil membawa sebotol air mineral yang tinggal setengah, "lo abis kerasukan apaan pake segala mau jodohin gue?"

"Anggap aja ini balas budi karena gue udah bantu lo sekolah di luar negeri dan menetap di sana selama beberapa tahun."

"Astaga, Mas, gue adik lo, ya," sahut Dika emosi, "tapi lo perhitungan?"

Garvi menggeleng tidak setuju. "Bukankah kita emang sepakat dulu sebelum lo berangkat? Lo bakalan kabulin permintaan gue kalau gue minta sesuatu kan?"

"Tapi ya nggak nikah juga, Mas. Astaga, Tuhan! Lagian gue lebih muda dari lo, harusnya lo duluan yang nikah, kenapa jadi gue?"

"Calon kakak ipar lo belum mau nikah, tapi Mama udah nggak sabar pengen ngunduh mantu. Gue bingung juga, Dik, lagian Zahra baik kok."

Dika memijit pelipisnya yang mendadak pening karena topik yang mereka bahas. Menurutnya kakaknya ini benar-benar gila.

"Ya, terus kenapa gue? Kenapa nggak lo sendiri?"

"Oke, dengerin gue dulu, gue nggak bakalan maksa, Dik, nyoba doang aja. Kalau cocok lanjut, kalau enggak, ya udah, gue janji nggak bakalan maksa. Gue nggak bisa, karena gue punya Arin. Gue punya pacar. Gue nggak mau maksa dia, tapi gue juga nggak mau putus sama dia. Lo ngerti kan?"

Di luar dugaan, Dika menggeleng. "Enggak, gue nggak ngerti, Mas. Menurut gue, lo egois, kenapa lo nggak mikirin perasaan gue? Lo bahkan nggak nanya juga gue punya pacar atau enggak?"

"Gue tahu lo baru putus," sahut Garvi cepat, membuat emosi Dika mendadak meradang.

Pria itu langsung berdiri. "Tahu lah, gue anggap obrolan kita nggak pernah terjadi. Gue mau cabut," pamitnya langsung pergi.

💙💙💙💙

Bossy or Besty?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang