Part 2: Desa Pelita

76 63 18
                                    

Mobil sedan memasuki gang ke gang setelah melewati sebuah papan yang tertancap di atas bambu dari awal gang, bertuliskan DESA PELITA.

Orang yang berlalu lalang sesekali melirik ke mobil mereka, sangat jarang mobil memasuki Desa ini. Namun Desa Pelita kerap di kenal oleh Desa tetangga karena sebutan nya sebagai Pelita Makmur, perkebunan karet dan gandum mereka sangat kaya serta perkebunan lainnya.

Mobil pun berhenti di depan rumah yang berbeda dari rumah lainnya, kenapa begitu? Karena kebanyakan rumah warga di Desa Pelita masih dengan kayu atau berdinding batu bata saja.

Salma Satiah, Wanita tua berusia 67 tahun yang tinggal seorang diri sekaligus ibu dari Abi, meski umur terbilang besar namun tidak membuat dirinya begitu lemah.

Kedatangan keluarga putra nya memberikan kebahagiaan yang banyak, hampir 2 tahun mereka tidak bertemu.

Ruang tamu yang sebelumnya sempat kosong dan sekarang diisi oleh perbicangan hangat dari keluarga mereka. Sementara Fiya asik bermain di halaman rumah dengan menaiki sepeda ontel milik neneknya.

"Memang kenapa Haris di keluarkan dari sekolah? Ceritakan pada ibu,"

Abi menghela nafas dalam dalam, "Biasa bu, perkelahian anak laki laki,"

"Hanya perkelahian tapi kenapa sampai di keluarkan?"

Abi terlihat menunduk, tak ingin membicarakan masalah masalah yang Jae perbuat.

Lana merangkul ibu mertua nya itu dan mencoba menenangkan agar tidak terlalu khawatir.

"Ibu.. Bukan berarti Haris anak yang tidak baik karena di keluarkan sekolah, dia harus beradaptasi dengan lingkungan baru nya disini,"

"Mungkin karena pergaulan disana yang membuat perubahan sedikit demi sedikit pada Haris, jadi lebih baik Haris tinggal disini,"

"Baiklah, Lana. Ibu juga sangat senang jika Haris ingin tinggal disini, ibu akan mengurus nya," Ucap Salma dengan nada ramah.

Abi menoleh ke sekeliling ruangan bahwa Haris sudah tidak ada disana, "Kemana sih tuh anak," Lirih Abi pelan.

"Ouh.. sebentar, biar ibu buatkan teh dan kopi," Ucapnya saat Salma hendak berdiri dari sofa namun segera di hentikan oleh Lana yang berdiri lebih dulu dan meraih lengannya.

"Biar Lana saja, ibu duduk ya,"

Salma balas tersenyum dan mengangguk lalu duduk kembali di sofa, "Gula nya ada di rak pojok, Lan,"

"Iya bu," Balas Lana dan pergi menuju dapur.

••

Fiya mendayuh sepeda ontel dengan lihai meski sepeda itu lebih tinggi dan besar dari tubuh nya. Sementara Jae duduk di bawah pohon dan mengambil beberapa isapan pada puntung rokok nya.

Bruk!

Fiya tak sengaja menabrak pohon yang saat ini menjadi sandaran Jae, sontak laki laki itu menoleh ke belakang.

"Di rem, Fiya!" Bentak Jae.

"Rem nya gak berfungsi, kakak," Fiya cemberut saat menerima bentakan dari kakaknya.

"Turun, taro sepeda nya di gudang,"

"Gak mau, aku masih mau main lagi"

Sifat keras kepala adik nya turun temurun dari Ayah nya, Fiya kembali mendayuh sepeda nya sementara Jae sudah berjalan meninggalkan halaman rumah.

Ia pergi mencari udara segar sembari menghisap kembali putung rokok nya. Menarik sedikit perhatian karena pakaian nya yang tampak berbeda dari orang orang di desa ini.

Aura berduit nya sungguh terasa saat ia berjalan desa itu.

Langkah kaki nya berhenti di depan warung yang tidak besar dan tidak kecil, ia mengambil satu kaleng kopi dan mengantri untuk membayar.

Seorang gadis yang memakai ransel kuning berada di depannya, gadis itu sedang membayar dua roti milik nya, dia ramah bahkan ketika sedang berbicara pada penjual.

Namun gadis itu hendak berbalik setelah selesai membayar, bahu nya tak sengaja menyenggol bahu Jae. Senyuman lembut terukir di bibir gadis itu.

"Ah, maaf, saya tidak sengaja,"

Jae tidak membalas ucapan gadis itu melainkan segera membayar barang yang di ambil nya tadi.

"Cika," Lirih nya, menyebut nama gadis itu saat ia tak sengaja membaca name tag yang terpajang di sisi kanan dadanya.

Dan tepukan kecil di bahu membuat kepala nya menoleh ke belakang, seorang gadis memakai seragam yang sama seperti gadis bernama Cika itu.

"Jangan bengong mas! Itu kopi lo ambil!!" Bentak nya.

"Sabar, mbak,"

Jae mengambil kaleng kopi di atas etalase saat selesai di bayar, ia berbalik dan keluar dari warung.

"Kentut! Lo yang bengong, malah gue di suruh sabar,"

"Weh Al, udah, santai dikit," Ucap salah satu teman gadis itu, menenangkan seraya mengusap pundak nya.

"BU DIAN!! Saya mau bayar bu, sekalian bayar yang kemarin yak,"

Teriakan gadis itu masih terdengar di telinga Jae saat ia berjalan menjauh dari warung.

Beberapa sapaan dari orang sekitar di terima dengan anggukan oleh nya, mereka ramah meski Jae adalah orang baru disini.

"Nak,"

"Kamu warga baru disini? atau saya yang jarang melihat kamu berkeliaran," Ucap seorang wanita paruh baya dengan kain yang dililit di pinggang dan pakaian lusuh nya sembari membawa bakul berisi kain kotor.

"Saya warga baru,"

"Ohalah, keluarga mu pindah ke desa ini?"

Jae menggelengkan kepala, "Cuma saya, saya tinggal dengan nenek disini,"

"Benarkah? Siapa nenekmu?"

Alis Jae mengerut dan tampak memikirkan nama nenek nya, ia pelupa jika menyangkut keluarga, "Salma,"

"OH SALMA! Kamu cucu nya yak, ganteng kamu loh,"

"Mau kamu di kenalkan dengan anak saya? seumuran dengan mu kayaknya," Lanjutnya namun segera di balas gelengan dari Jae.

"Tidak, terimakasih, bu. Saya pamit," Katanya, hendak berjalan lagi.

"Oh sayang sekali, ya sudah, hati hati,"

Jae berjalan kembali ke rumah, melihat sang Ayah yang sedang berdiri di halaman sembari merokok. Tatapan mereka bertemu dan Jae mengampiri ayah nya.

Menyodorkan sekaleng kopi pada pria paruh baya itu dan di terima oleh nya.

"Barang kamu udah di kamar," Ucap Abi seraya membuka tutup kaleng.

Jae balas mengangguk dan berdiri di sebelahnya dengan kedua tangan masuk ke dalam saku, "Sering- sering dateng kesini kan?"

"Kalau ada waktu,"

"Bisa, kalau di usahin," Sinis Jae.

"Jangan buat onar lagi, disini cuma nenek yang jaga kamu,"

Jae mengangguk, "Ya, jaga Bunda, dia sering kerja gak kenal waktu,"

"Ayah juga berhenti buat ketemu wanita itu," Lanjut Jae.

Abi yang mendengar segera menoleh melihat Jae karena terkejut, "Ma-maksud kamu apa, Ris?"

"Haris pernah lihat ayah pelukan sama wanita lain, itu di club,"

"Tolong jangan lagi, nanti Bunda sedih," Ucapnya, tanpa sadar air mata menetes di pipi.

••

[ Jika terdapat typo, tolong komen di letak kata yang typo, terimakasih]

📌Vote & Comment untuk meninggalkan jejak kalian.

See you in the next chapter.

When We Were Young Where stories live. Discover now