18

50 18 1
                                    

"Woi, Sen!" Tiba-tiba ada seseorang menepuk pundak Seno, membuat lamunannya enyah begitu saja. Seno menoleh ke belakang dan menemukan dua sahabatnya.

"Hai, Al, Ren." Seno tersenyum ramah melihat Alvaro yang langsung duduk di sebelahnya. Kini mereka berada di taman biasa—tempat mereka nongkrong duduk-duduk santai.

Saat ini Daren, Alvaro dan Seno kembali ke taman itu untuk berdiskusi tentang bagaimana menavigasi koneksi baru yang mereka miliki sekarang.

"Gue di teror lagi sama Pria jaket hitam itu." Daren menatap lurus ke depan saat dirinya berbicara.

Alvaro dan Seno spontan  menatap Daren dengan ekspresi terkejut sekaligus khawatir. "Terus, pria itu ngelakuin apa?" tanya Seno.

"Dia menodongkan pisau ke arah gue, seolah-olah mengancam."

Alvaro mengetukkan jari telunjuk pada dahinya, berfikir kritis pada masalah ini. "Dari sini gue makin yakin kalau Kenzie bukan dalangnya."

"Terus siapa, Al?" Seno meraup wajahnya dengan kasar.

"Kai?"

"Nggak! Dia orang baik!" Kekeuh Daren pada Alvaro.

"Don't judge a book by its cover. Sampul dibuat semenarik mungkin agar bisa menarik perhatian para peminat. Bisa jadi Alvaro bener kalau Kai adalah dalang dari semua ini." ucap Seno yang kini berpihak pada Alvaro.

"Gimana kalau kita pulang dulu dan besok kita bicarakan hal ini lagi? Sekarang udah sore, nggak baik anak remaja keluyuran." Alvaro menyarankan.

"Kenapa kalau kita diskusi pasti aja ada yang nyuruh pulang? Kalau gini terus, sampai kapanpun nggak bakal ketahuan siapa pelakunya." Seno berkata lembut, ia memang jarang sekali berbicara dengan nada tinggi.

"Terserah. Gue tetap mau pulang." ujar Alvaro lalu berdiri dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan Daren dengan Seno.

"Mana bisa gitu! Hei!" Teriak Daren dengan upaya menghentikan langkah sahabatnya.

"Mungkin dia ada kegiatan lain yang lebih penting. Kita pulang aja, ayok? Besok lanjut lagi kalau ada waktu luang. Kita nggak bisa membicarakan hal ini cuma berdua aja tanpa persetujuan yang lain."

"Oke. Lo pulang gimana? Mau gue antar?" Ajak Daren sambil sedikit melirik ke arah Seno.

"Udah mesan ojek online. Makasih ya." Seno tersenyum sambil berdiri dan menepuk pundak Daren sebanyak tujuh kali dengan tempo sedikit pelan. Daren balas tersenyum, ia juga berdiri di hadapan Seno.

Sesampainya di rumah, Alvaro memasuki ruang tamu setelah memarkirkan motornya di halaman rumah. Baru saja hendak masuk ke kamar, Alvaro di kejutkan dengan suara ketukan pintu yang barusan ia tutup.

Dengan cepat Alvaro membalikkan tubuhnya menghadap pintu, memastikan apakah ketukan nya masih ada atau dia hanya salah dengar saja.

Tok.. Tok.. Tok..

Pintu kembali di ketuk, bahkan sekarang bel rumah ikut berbunyi. Namun Alvaro masih ragu untuk membukakan pintu karena ia tidak mendengar suara orang yang memanggilnya. Ia hanya takut jikalau itu ulah pria berjaket hitam yang menerornya.

"Alvaro?" Suara itu mampu membuat Alvaro menghembuskan nafas lega. Meski suara gadis tersebut masih terdengar asing di telinganya, Alvaro tetap berjalan untuk membuka pintu. Yang terpenting sekarang Alvaro tahu bahwa itu benar-benar orang baik, bukan pria misterius.

Ceklek!

Pintu dibuka. Dahi Alvaro mengernyit melihat seorang gadis setinggi bahunya yang berdiri di hadapannya. Gadis tersebut menunduk, membuat Alvaro membungkuk untuk melihat wajahnya dengan jelas.

TUJUH || ENDWhere stories live. Discover now