05

89 30 5
                                    

Lima laki-laki berpakaian serba hitam, sedang berkumpul di ruang tamu di rumah Rafka, usai menghadiri pemakaman sahabat yang menyusul kepergian Narel. Mereka berlima izin tidak masuk sekolah karenanya dan langsung diberikan izin oleh wali kelasnya.

Tampak seorang wanita paruh baya tengah duduk sambil menatap kearah mereka berlima dengan tatapan sayu. Dengan ditemani suaminya, wanita tersebut berbicara, "Kenapa anak saya bisa meninggal? Rasanya tidak mungkin jika Rafka terpeleset dari tangga lalu terjatuh begitu saja. Sedangkan, Rafka sudah sering lari-larian turun naik tangga." Ujar Ningsih sambil mencoba menahan air matanya karena masih tidak dapat menerima anak tunggalnya pergi secepat ini.

Daren yang biasanya selalu aktif berbicara, sekarang dirinya hanya terdiam, tak bisa menjelaskan apa-apa karena dia sendiri pun baru mendapat kabar saat setelah Rafka sudah tiada. Itupun Alvaro yang memberitahu pada mereka melalui pesan grup.

"Alvaro juga yakin kalau Rafka gak jatuh dari tangga dengan sendirinya atau ketidaksengajaan." Ungkap Alvaro yang suaranya kini serak.

"Apa yang bisa bikin lo berfikir kayak gitu?" Renan mengerutkan dahinya.

"Saat gue ngecek badan Rafka, gue liat ada memar dibelakang lehernya. Memar itu bisa aja bekas benda keras yang sengaja dipukulkan ke leher Rafka agar dia jatuh, kan?" Ucap Alvaro lagi.

Daren menghela nafas, "Yakin? Bisa aja itu efek karena Rafka terguling di tangga dan bikin lehernya terkena sisi-sisi anak tangga."

"Tapi bukan itu aja. Kalaupun Rafka gak sengaja kepeleset, darah yang keluar dari hidung dan mulutnya gak mungkin sebanyak itu. Palingan biasanya cuma di kepala doang. Toh tangga yang Rafka turunin juga gak tinggi-tinggi banget."

Daren terdiam saat mendengar ucapan Alvaro yang kedua kalinya ini ada benarnya juga. Dia sekarang menunduk lagi karena tidak tahu harus berbicara apa.

Seno mengangguk setuju pada Alvaro, "Alvaro bener. Mungkin aja emang ada yang berniat jahat sama Rafka dan melakukan aksinya pas si pembunuh ini tau kalau Rafka lagi sendirian di rumah saat kemarin malam."

"Tapi siapa yang tau, Sen? Siapa yang tau kalau Rafka semalam tuh lagi sendirian di rumah? Sedangkan di kelas kemarin tuh cuma kita berenam aja yang ada." Daren mengacak rambutnya frustasi.

Perdebatan mereka itu sontak membuat Ningsih menangis karena Rafka diklaim sebagai korban pembunuhan berencana.

"Siapa yang membunuh anak saya? Mengapa? Rafka salah apa hingga dia harus merasakan ini semua?" Suara Ningsih bergetar. Haris-selaku ayah dari Rafka, pun langsung memeluk tubuh kurus istrinya, guna untuk menenangkan.

"Ini sudah takdir. Semua pasti merasakan yang namanya kehilangan. Kemarin orang lain, dan sekarang giliran kita. Rafka tidak meninggalkan kita semua, dia hanya pergi untuk belajar mandiri. Rafka pernah bilang bahwa dia tidak ingin menyusahkan kita, kan? Tapi kamu selalu melarangnya untuk pergi kemanapun. Dan pada akhirnya, Rafka tetap ingin pergi. Tidak apa-apa, nanti pada saat kita berkumpul kembali, kita berdua akan melihat anak satu-satunya kita yang sudah bisa hidup mandiri." Haris berbicara lembut kepada Ningsih, layaknya seperti sedang mengasihi anak kecil.

Seno tiba-tiba bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju sebuah lemari kaca yang terletak di belakang sofa yang diduduki oleh Renan. Lemari itu berukuran setinggi pinggangnya. Matanya memandangi jejeran foto berbingkai yang tersusun rapi di atas lemari. Foto itu terdiri dari 2 foto keluarga Rafka, 3 foto mereka bertujuh yang sedang berpelukan, tertawa bersama dan juga tertidur di rumah yang mereka beli. Lalu ada 5 foto Rafka bersama Seno berdua yang seperti kakak beradik.

Seno menggerakkan tangannya untuk mengambil salah satu bingkai yang berisikan fotonya yang bersama dengan Rafka. Jari-jarinya mengusap lembut foto tersebut.

TUJUH || ENDWhere stories live. Discover now