06

73 25 4
                                    

Pada waktu istirahat pertama, kelima lelaki itu berada di kantin sekolah dan sibuk melakukan aktifitasnya masing-masing. Di mulai dari Alvaro yang tengah asyik mengunyah roti selai kacang, Daren memainkan game online di ponselnya, Seno sedang memetik gitarnya, Renan memakan mie goreng dan Kenzie tengah meminum secangkir cola. Mereka sekarang terlihat begitu santai dibandingkan dengan kemarin saat di rumah Rafka.

"WOI! JANGAN SEENAKNYA MAIN NYAMPAH!" Teriak Daren tiba-tiba yang sontak saja mengejutkan teman-temannya. Kenzie adalah salah satu korban teriakan Daren. Dimana langsung tersedak cola yang sedang diminumnya hingga terbatuk-batuk beberapa kali. Minuman itu tersesat ke hidungnya yang membuat hidung Kenzie terasa pedas.

Daren yang berada di samping Kenzie pun langsung meletakkan ponselnya di atas meja dan mengambilkan beberapa lembar tisu, lalu ia menepuk-nepuk punggung Kenzie dengan pelan karena merasa bersalah.

"Makanya jangan teriak. Untung Kenzie yang jadi korban. Bayangin aja kalau gue, nih mie nyasar ke hidung gue, gimana?" Renan memutar matanya, kesal pada Daren.

Mendapati sindiran itu Daren bukannya balik marah, tetapi ia hanya nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang terasa gatal.

Kenzie melemparkan tatapan tajam, "Jadi lo bersyukur kalau gue keselek? Sahabat apa lo kayak gitu?" Ucapnya sambil mengatur nafas dan menyeka area mulut serta hidungnya.

Renan menyipitkan mata sembari mengusap sisi mulutnya menggunakan tisu , usai menghabiskan sepiring mie goreng. "Heh! Gue bukannya bersyukur, tapi masih mending keselek air. Coba bayangkan kalau gue keselek mie terus mie nya masuk ke hidung gue."

"Tapi ini bukan air putih, ini cola! Hidung gue berasa pedes jadinya!" Sanggah Kenzie dengan menepuk meja dan menatap lawan bicara yang ada di hadapannya.

Seno berdiri, "Berantem terus. Bukan masalah besar juga."

"Biasalah," Alvaro menjawab.

"Ngomong-ngomong, lo kemarin pulang ke rumah naik apa, Ren?" Tanya Alvaro sambil meminum Cola milik Kenzie. Namun, Kenzie terlihat santai saja karena mereka bertujuh menang sudah sering bertukar alat makan.

"Gue kan di anter sama lo," bingung Daren.

"Bukan lo, tapi noh si Renan. Kalau lo mah, gue nggak perlu nanya lagi." Alvaro tertawa ringan.

"Makanya yang jelas ngomongnya mau ke siapa. Udah tau nama gue juga ada 'Ren' nya,"

Seno memetikan gitarnya lalu bernyanyi dengan suaranya yang lembut, "Entah siapa yang salah,"

Renan menghembuskan nafas frustasinya dikala melihat ternyata bukan hanya ia yang diambang kewarasan, tapi teman-temannya juga tak kalah stress nya.

"Gue pulang naik ojol lah, masa naik kuyang," ujarnya sambil bercanda

"Kirain numpang sama babi ngepet." Alvaro berkata yang diakhiri dengan tertawa puas.

"Mba, nih gitar saya tolong jagain. Saya mau ke kelas." Seno menaruh gitarnya di atas meja kantin. Memang sudah menjadi hobinya bermain gitar dimana saja, hingga di sekolah pun ia membawanya. Seno sangat menjaga dengan baik gitarnya, karena gitar itu ia beli sendiri dari uang hasil tabungannya.

Biasanya, mereka bertujuh akan menikmati suara petikan gitar dari Seno dan Rafka yang menyanyinya. Tapi sekarang berbeda. Seno hanya bisa memetik gitar dan bernyanyi sendiri.

Mereka berlima kembali ke kelas dan duduk di bangku masingmasing. Untungnya, guru belum masuk padahal lonceng pelajaran kedua sudah berbunyi dari 7 menit yang lalu saat mereka masih berada di kantin.

"Selamat siang." Setelah beberapa saat menunggu, Bu Lilis pun akhirnya memasuki kelas. Beliau adalah guru yang mengajar di mata pelajaran PPKN.

"Siang, Bu." Ucap seluruh murid.

"Sebelum kita memulai pelajaran, ibu akan memeriksa kehadiran kalian terlebih dahulu."

Murid-murid yang di panggil Bu Lilis sontak mengangkat tangannya. Hingga tibalah pada satu nama murid yang membuat suasana kelas menjadi hening dalam sekejap.

"Rafka?" Bu Lilis langsung berdeham dan mencoret nama Rafka dari Absen.

"Maaf anak-anak." Ucap Bu Lilis dengan suara gugupnya.

"Bu, yang sudah pergi jangan di panggil lagi." Ujar salah satu murid laki-laki yang duduk di bangku paling pojok.

Sontak Daren, Kenzie, Alvaro, Seno, Renan serta beberapa murid lainnya menoleh kearah sumber suara.

Itu adalah suara Fariz, murid yang dikenal sebagai laki-laki bermulut lemas karena kata-katanya yang seperti perempuan. Dia bahkan sering menghabiskan waktu di sekolah dengan berkumpul bersama banyaknya para gadis, ketimbang bersama murid laki-laki lain.

"Oh, si curut." Kenzie langsung berbalik ke posisi semula setelah sudah mengetahui siapa pemilik dari suara tersebut.

Kalimat yang Kenzie lontarkan, ternyata terdengar oleh semua orang yang ada di kelas itu, membuat seisi kelas tertawa terbahak-bahak. Hingga Bu Lilis pun menggeleng pasrah dengan kelakuan anak muridnya.

"Gue bukan tikus." Fariz membela diri. Ia tidak terima dirinya disebut dengan menggunakan salah satu jenis tikus.

Saat Kenzie hendak menjawab, matanya tertuju pada Alvaro yang duduk di bangku pertama dan sekarang sedang menatapnya. Alvaro geleng-geleng kepala, menyuruh Kenzie berhenti mencari masalah ketika guru sedang mengajar di depan. Kenzie menjulurkan lidahnya, dengan niat mengejek Alvaro. Sahabatnya itupun langsung mengacungkan jari tengah dan berbalik menghadap papan tulis.

————————
————————

Saat sekolah sudah selesai, Kenzie, Daren, Alvaro, Renan dan Seno memutuskan untuk pergi ke TPU untuk menjenguk makan Rafka serta Narel yang dikuburkan berdampingan. Saat memasuki area kuburan, mereka langsung melihat dua nisan yang hanya berjarak beberapa meter dari pintu masuk kuburan.

Setelah sudah tiba di depan kuburan itu, mereka berlima langsung berjongkok dan menundukkan kepala sejenak untuk mendoakan kedua sahabatnya agar selalu tenang. Seno dan Daren, masing-masing membawa sebotol air putih lalu menyiramkan nya pada dua gundukan tanah di hadapan mereka.

Terakhir, Kenzie dan Alvaro menaburkan beberapa kelopak bunga dengan jenis yang berbeda-beda. Kelopak bunga itu mereka dapatkan di jalanan saat menuju pemakaman dan mereka masukkan ke dalam plastik hitam. Sedangkan air putih, itu sudah Seno dan Daren bawa dari rumah.

"Kami pamit pulang, Raf, Rel. Kami bakal kesini lagi kalau ada waktu luang. Kalian berdua di sana baik-baik aja, 'kan? Gue harap kalian bahagia terus. Tolong pantau kami dari atas, ya?" Renan mengusap nisan milik Rafka lalu berpindah pada nisan milik Narel.

Alvaro menghela nafas dengan pelan sambil mengulum bibirnya. Pemikiran tentang kehilangan kedua sahabat, tak pernah terbayangkan sebelumnya. Mengingat Daren yang selalu mengucapkan kalimat 'kita bertujuh harus sehidup semati' lalu Rafka dan Narel yang sangat bersemangat untuk menjawab 'pasti!' Namun nyatanya malah mereka yang pergi lebih dulu.

Alvaro hanya bisa berandai-andai sekarang ini. Andai saja mereka tidak pergi ke pantai, pasti Narel masih ada sampai sekarang. Andai saja ketika pulang sekolah Alvaro langsung mengambil kamus nya, pasti Daren juga masih ada dan mereka masih lengkap bertujuh.

Alvaro berdiri sambil menyeka air matanya lalu berucap dengan pelan, "Ayo kita pulang. Cuacanya mendung, gue takut kita bakal kehujanan."

Kenzie yang sedari tadi memperhatikan kedua makam sahabatnya, kini beralih menatap langit yang sudah mulai gelap karena dipenuhi dengan awan hitam yang menandakan bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

"Cepetan elah! Malah bengong." Geram Alvaro.

"Kasian Rafka sama Narel kalau kehujanan.." Seno mencicit sambil berdiri, namun pandanganya terus terfokuskan pada dua makam itu.

Daren mengusap pundak Seno, "Jangan berlarut-larut, Sen, gak baik. Apalagi sekarang kita di makam mereka. Kasian Rafka sama Narel kalau denger lo ngucapin kalimat kayak gitu."

Seno mengangguk pelan. Mereka semua sudah berdiri, merapikan serta membersihkan pakaian yang terkena tanah sebelum beranjak pergi dari TPU tersebut.

TUJUH || ENDWhere stories live. Discover now