17

42 15 1
                                    

Satu bulan berlalu. Dalam jangka waktu selama itu keadaan masih tetap sama. Kenzie yang tertahan dalam rumah pasung, Alvaro, Seno dan Daren yang terus melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang teror ini. Tidak ada satupun bukti lain yang merek dapatkan untuk dibawa ke pihak berwajib. Hal itu menyebabkan mereka didera oleh kebingungan.

Apakah benar bawah Kenzie adalah pelakunya?

Alvaro menyeruput secangkir teh, ia bersantai di balkon rumahnya. Suasana sangatlah damai, tidak ada suara keributan kendaraan yang melintas. Hanya ada suara cicitan burung yang beterbangan ke sana kemari.

Ketenangan Alvaro diganggu dengan adanya kemunculan suara notifikasi dari ponselnya. Hembusan nafas panjang keluar dari bibir tipis itu. Dia mengambil benda pipih tersebut di meja sampingnya lalu membukanya untuk mengetahui notifikasi dari siapa. Alvaro memutar bola matanya kala mengetahui bahwa pesan itu dikirim oleh Daren.

Daren : "Katanya SMK sebelah lagi ngadain kemah antar sekolah tinggi, lho. Lo mau ikut?"

Alvaro mengetikkan jarinya di keyboard ponsel, membalas pesan Daren.

Alvaro : "Nggak dulu. Gue bukan Kenzie atau Narel yang aktif dalam kepramukaan."

Daren : "Yaelah! Bawa-bawa orang yang nggak ada di sini. Ya udah, gue cuma mau ngasih tau itu aja sih."

Hanya dibaca, tidak dibalas lagi. Pesan terakhir dari Daren diabaikan oleh Alvaro. Tapi Daren tidak mengambil pusing karena memang seperti itulah sifat yang tertanam pada diri sahabatnya itu.

###

Beralih ke tempat Daren, kini dirinya tengah memasak untuk makan siang dirinya sendiri. Ia memang sengaja menyuruh Bi Yem tidak memasak karena takut hidupnya akan berakhir di tangan pembantunya.

Semenjak kejadian Daren mendengar percakapan Bi Yem di telepon, asma yang di deritanya semakin sering kambuh. Tak jarang pada saat pelajaran Daren selalu izin ke toilet dengan alasan ingin buang air kecil, padahal sebenarnya asma atau panic attack nya kambuh.

Daren menggoreng telur mata sapi dan juga menyiapkan roti selai nanas, dia sudah terbiasa hidup mandiri karena begitu sering ibu dan ayahnya pergi ke luar kota ataupun ke luar negeri.

"Akhirnya selesai juga." Daren tersenyum pada dirinya sendiri, ia menuju kamar sembari membawa nampan berisi makanan dan minuman yang sudah disiapkannya.

Daren duduk di kursi lalu nampan itu ia letakkan di atas meja belajar. Daren menyuap makanannya. Suapan demi suapan ia kunyah, hingga telur itu habis. Ia minum air putih sebelum berganti mengunyah roti.

Belum sempat menghabiskan rotinya, Daren tiba-tiba dikejutkan dengan suara benturan keras yang berasal dari pintu kamarnya..Daren sontak menoleh, ia menaruh roti nya lalu berjalan menuju pintu untuk mengecek apa yang terjadi di luar. Perlahan Daren memutar kenop pintu.

Cekrek!

Pintu terbuka, namun saat dilihat Daren tidak menemukan siapapun yang berada di luar kamarnya. Merasa ada yang janggal, Daren memutuskan untuk memeriksa ke ruang tamu. Dan benar saja. Saat di ruang tamu, dari jendela dia melihat di luar rumahnya ada sosok berjaket hitam itu lagi. Daren terkesiap melihat sosok itu yang dengan santainya menodongkan pisau kearahnya, sebelum akhirnya berbalik pergi ke keramaian orang di luar sana.

Melihat itu, hal yang Daren takuti pun terjadi. Pikiran Daren menjadi kalut, ia takut. Hati Daren tidak tenang setelah menyaksikan hal seperti ini. Rasa sesak kian menghimpit dadanya. Tubuh Daren bergetar hebat dan dalam hitungan detik, keringat mulai bercucuran membasahi tubuhnya.

Asma serta panic attack Daren kembali kumat. Dengan langkah gontai Daren berusaha membopong tubuhnya sendiri ketika berjalan menuju kamar. Daren mencoba untuk mengambil banyak-banyak oksigen saat terus berjalan. Dia ingin berteriak, tapi jarak antara kamar dengan dapur nya cukup jauh. Tidak memungkinkan dirinya untuk memekik kesakitan.

"Berikan aku umur panjang.." Batinnya seraya mengambil Ventolin inhaler lalu menghirup isinya. Tubuh Daren ambruk ke atas kasur. Ia bersyukur karena dengan sekali hirupan saja nafasnya perlahan normal.

Daren menetralkan detak jantungnya dengan mengambil dan menghembuskan nafas secara perlahan sebanyak tiga kali.

"Syukurlah.." lirihnya. Ia lalu memperbaiki posisi tidurnya agar lebih nyaman. Sungguh, Daren tidak bisa berfikir lagi kenapa pria itu berani menerornya pada siang hari seperti ini. Di sini Daren semakin yakin bahwa pria itu memang tidak memiliki rasa takut, karena tadi saja Daren menyaksikan sendiri pria itu berjalan ke arah kerumunan orang banyak.

Daren memejamkan mata, menenangkan hiruk pikuk pikirannya.

"Kangen sama kita yang dulu. Tujuh remaja ketawa ketiwi kayak nggak ada beban hidup. Narel sama Kenzie yang suka ikut lomba kepramukaan antar sekolah, walaupun Kenzie tau dia nggak bakal menang kalau lawannya adalah Narel. Kapan lagi semuanya bakal kayak awal? Sekarang semuanya udah hancur. Nggak ada lagi senyuman, canda tawa dan suka duka yang kita tebarkan semenjak kejadian ini. Gue capek banget. Gue kangen sama kalian, sama kita yang dulu—nggak pernah berantem, nggak terpecah belah. Gue bingung. Ini nasib atau memang takdir?" Daren bergumam pada dirinya sendiri, bertanya-tanya apakah semua ini hanya mimpi atau memang kenyataan.

"Ren, bangun! Ini mimpi deh kayaknya!" Nggak mungkin Narel, Renan sama Rafka udah nggak ada. INI MIMPI!" Ia  berteriak, mencoba untuk bangun jika benar ini semua hanyalah mimpi seperti pikirannya. Namun saat Daren membuka mata, ia menangis ketika mendapati dirinya masih berada di posisi semula. Di sini Daren sadar bahwa semua ini memang nyata, bukan mimpi apalagi halusinasi.

"Semuanya memang udah berakhir. Stars Us udah nggak bersinar kayak dulu lagi.." Daren bermonolog di tengah Isak tangisnya.

Stars Us adalah nama grup yang dibuat oleh Daren untuk mereka bertujuh. Ini hanya grup biasa, bukan nama geng motor. Stars Us diresmikan pada tanggal 10 Oktober 2011—bertepatan dengan ulang tahunnya Seno dan kepergian Narel sebulan sebelumnya. 10 Oktober jugalah Stars Us menjadi amburadul. Grup nya hanya digunakan untuk memberitahukan hal penting saja. Sangat berbeda dengan dulu, Grup itu selalu aktif karena ada Rafka yang sering mengajak mereka untuk bergosip berita yang sedang panas di sekitar mereka.

Daren tersenyum mengingatnya. Tangannya bergerak untuk mengambil ponsel di samping bantal. Ia membuka ikon WhatsApp dan memencet profil grup. Senyuman pahit serta deraian air mata menghiasi wajahnya. Daren mengusapkan jari jempolnya pada gambar bintang yang terpampang di layar ponsel.

"Nanti kalau kita udah bareng-bareng kayak dulu, kita harus ngegosip lagi, ya? Kenzie sama Narel harus ikut lomba. Kami berlima bakal support kalian berdua." ucapnya diakhiri dengan tawa hambar.

Tanpa disadari olehnya, ternyata sedari tadi ada seseorang yang mengintainya dari luar jendela kamar. Sosok pria itu ternyata sedari tadi tidak pergi, melainkan setelah Daren kembali ke kamar. Ia mengikuti gerak-gerik Daren tapi dari luar rumah. Sosok tersebut menyeringai di balik maskernya. Dia mundur beberapa langkah lalu berbalik meninggalkan area rumah Daren.

Tak disangka pria berjaket hitam itu masih memegang pisau tajam, memutar-mutar di jarinya dengan lihai, bersenandung kecil sebelum pria tersebut bergumam pada dirinya sendiri. "Ternyata ada yang merindukan orang mati dan masa lalu. Menarik." Dia terkekeh meremehkan sembari mengedikkan bahunya.

TUJUH || ENDWhere stories live. Discover now