"Apa benar Hinata sudah memberikan jawabannya?" tanya Annaisha tengah membereskan peralatan make up.

Ino yang duduk di sebelah melirik sekilas dan mengangguk singkat. "Itu yang aku dengar dari Neji Nii-san. Hinata, sudah mengambil keputusan."

Annaisha menjeda aktivitasnya sebentar, pandangannya lurus ke depan di mana Hinata tengah menebar senyum manis ke seorang photographer.

"Aku yakin tidak mudah bagi Hinata memberikan jawaban itu, kan? Terlebih di antara dua hati, pasti tidak mudah mengambil keputusan," ujarnya lagi, mengulas senyum mengerti.

Ino menghela napas kasar, mendongak ke atas menyaksikan cakrawala sedikit berawan siang ini. Pikirannya berkelana ke hari-hari kemarin di mana sahabat yang dianggap sebagai keluarga mengalami patah hati, terparah.

"Iya, aku yakin keputusan itu tidak mudah diambil olehnya. Namun, sebagai sahabat dari masa kecilnya, aku mengerti apa yang dipikirkan Hinata."

"Betapa besar perasaan wanita itu untuknya, mungkin sampai detik ini masihlah sama. Tidak mudah bukan, melupakan seseorang yang telah menempati singgasana hati sekian lama?" Ino melirik pada Annaisha lagi membuat wanita itu pun membalasnya.

"Em, aku sudah mendengar semuanya dari Hinata tentang alasan kenapa ia menetapkan hati untuk pergi ke negara ini. Memang tidak mudah melupakan satu hati begitu saja, bohong jika selama ini dia telah melepaskannya... nyatanya, sekuat apa pun ia berusaha ketika satu hati itu kembali datang maka bayang-bayang masa lalu hadir tanpa peringatan," balas Annaisha panjang lebar.

"Terlebih sosok itu juga menyatakan kesungguhannya, kali ini. Aku yakin perasaan mendebarkan itu hadir lagi juga bukan semata-mata keinginannya sendiri, tetapi Allah yang telah menggerakan hatinya. Kamu tahu... Allah pasti menghadirkan seseorang yang tepat untuk kita, bukan seseorang yang kita inginkan," lanjutnya kembali.

Kata-kata hangat nan nyaman untuk didengar membuat Ino terperangah. Sosok Annaisha tidak hanya sebagai rekan kerja semata, melainkan kakak sekaligus penasehat.

Ino diam menyelami ucapan sang lawan bicara yang menyapa ujung sanubarinya. Ia terharu, sungguh sangat terkesima dengan pernyataan dicetuskan Annaisha.

"Iya, Eonnie benar. Allah tahu mana yang terbaik untuk kita... bukan apa yang kita inginkan. Maa syaa Allah, begitu indah rencana-Mu ya Allah," timpal Ino, kedua matanya berkaca-kaca menyelami keindahan rencana kehidupan yang telah Allah hadirkan.

"Jadi, kapan kamu akan memperkenalkan suami pada Eonnie?" goda Annaisha kemudian.

Seketika itu juga Ino cengo, bola matanya melebar, mulut ranumnya terbuka sempurna. "Eo-Eonnie, itu curang sekali!"

Annaisha tergelak senang dan melanjutkan kegiatannya lagi. Ino terus saja merengek sambil merangkul wanita yang berbeda beberapa tahun darinya.

Kebersamaan mereka tidak luput dari perhatian Hinata, sudut bibirnya membentuk senyum hangat. Ia senang menyaksikan Ino dan Annaisha bisa akrab layaknya saudara kandung.

"Terima kasih atas kerja kerasnya."

Suara besar seseorang mengejutkan, Hinata sadar dari lamunan dan melihat sang lawan bicara menyodorkan se-cup kopi dengan asap masih mengepul.

Ia menerimanya seraya mengucapkan, "terima kasih. Terima kasih juga atas kerja kerasnya Hakuki."

Hakuki, pria yang kemarin mengajukan lamaran dan kini bekerja sama dengan Hinata tersenyum lembut.

"Terima kasih, Hinata, sudah mau bekerja sama denganku," katanya duduk di samping Hinata yang tengah meneguk kopi, singkat.

"Tidak usah berterima kasih. Aku senang bisa bekerja sama denganmu, dan juga... ma-"

"Tidak apa-apa Hinata, tidak usah dibahas lagi. Aku tahu dan mengerti, jadi simpan saja ucapanmu," sambar Hakuki lagi.

Hinata terperangah singkat dan mendengus pelan. "Iya, terima kasih banyak."

Hakuki hanya mengangguk-anggukan kepala dan setelahnya mereka berbincang-bincag bersama. Hal tersebut pun menjadi santapan menarik bagi para awak media yang diam-diam hadir di sana lalu mengambil gambar kebersamaan mereka.

Berita demi berita pun bermunuclan membuat orang-orang terdekat Hinata lagi dan lagi heboh di media sosial.

Ditambah Ino yang juga mengunggah foto Hinata dengan Hakuki di lokasi pemotretan menamabah semarak.

Mereka semain bertanya-tanya apa benar Hinata menerima lamaran Hakuki? Keakraban sekaligus rona merah di wajah wanita itu menambah rasa penasaran.

Ino dengan sikap senang menggoda terus memberikan balasan-balasan pada para sahabatnya yang tengah berada di negeri kelahirannya.

Namun, di tengah kegembiraan Ino ada satu hati yang terus menerus gelisah. Ia tidak tahu mengenai kebenaran diberikan Hianta.

Selama berita itu muncul, baik pihak Hinata maupun Hakuki tidak ada statement apa pun yang menjelaskan.

"Sudahlah Naruto sabar saja, siapa tahu Hianta menolaknya," kata Sasuke di mana keduanya bersiap untuk kembali ke tanah air.

Naruto menghela napas kasar dan meletakkan ponsel di samping. Ia menengadah dan bersandar ke kepala sofa menyaksikan langit-langit ruangan hotel.

"Apa aku sudah tidak bisa mendapatkan kesempatannya lagi?" gumamnya lirih.

Sasuke mengalihkan pandangan padanya, menyaksikan gurat kesedihan begitu mendalam. Kepala bersurai hitam legamnya menggeleng berkali-kali, memahami isi hati sang sahabat.

*Terima kasih banyak sudah mampir dan meninggalkan jejak 🙏🏻😊

Sumber gambar: Pinterest

InstaJrah (Instagram Hijrah)Where stories live. Discover now