39

508 53 17
                                    

Jaemin banyak diam. Jeno sejak tadi terus mengecek Jaemin yang diam seribu bahasa sejak ia bangun. Dia mulai tidak tahan. Jeno memelankan laju mobilnya dan berhenti dipinggir jalan. Tangannya melepas sabuk pengaman dengan kasar lalu menatap Jaemin. "Mau sampai kapan diam seperti ini?"

Jaemin masih diam. Enggan menatap Jeno yang mulai kesal dengan tingkah lakunya pagi ini. Jeno berdecak. Dia meminum air mineral sampai habis lalu kembali menatap Jaemin. Berusaha untuk mendapatkan jawaban dari adiknya itu. "Jaemin."

Tangan Jeno reflek menarik lengan kiri Jaemin agar adikknya menghadapnya sekarang. Mendengar Jaemin yang mengaduh membuat Jeno melepaskan tangannya, menatap Jaemin bingung. Raut wajah Jeno berubah, sepertinya dia tau kenapa Jaemin diam dan mengaduh saat ia memegang lengannya. Jeno kembali menarik lengan kiri Jaemin, menarik baju lengan Jaemin ke atas. Keduanya kini sama-sama diam, radio yang sebelumnya menyala juga tiba-tiba ikut berhenti dan hanya mengeluarkan suara tidak jelas.

"Kapan?"

Jaemin membuang mukanya. Tanpa melihat Jeno ia berusaha menarik kembali lengannya. Sementara Jeno masih kuat menahan tangan Jaemin, membiarkan anak itu kembali merasakan perih di luka barunya yang semakin banyak. "Aku tanya baik-baik Jaemin, kapan?"

"Tadi." Jawab Jaemin pelan sekali. Jeno masih terus menahan lengan Jaemin, bahkan ibu jarinya kini sengaja menekan luka yang belum terlalu mengering itu sampai Jaemin semakin berusaha agar Jeno melepaskan tangannya. Perih, Jaemin bisa merasakannya kembali saat Jeno dengan sengaja menekan luka itu. "Lepas. Sakit."

"Sudah tau sakit kenapa diginiin lagi?"

Jeno diam. Ulahnya tadi berhasil membuat luka Jaemin kembali mengeluarkan darah. Jaemin sudah menangis diam-diam, mengigit bibirnya karena tangannya kembali terasa perih. Kakaknya segera membuka laci mobilnya dan mengambil kotak P3K yang sengaja disimpannya. Dia mulai mengobati lengan Jaemin dengan perlahan, menyebut kata maaf berulang kali didalam hatinya karena telah menekan luka yang terlihat perih itu.
Jeno enggan menanyakan alat apa yang dipakai Jaemin untuk melukai dirinya. Dia lebih memilih diam. Sesekali meniup luka Jaemin yang sudah diberi antiseptik. Dia menatap Jaemin sebentar yang masih juga diam sebelum menutup luka sang adik dengan perban.

"Mau makan apa?"

Jaemin perlahan menoleh dan menatap Jeno yang sudah memasukkan kotak P3K kembali ke laci dan kini tengah memasang sabuk pengaman. Mobil itu kembali melaju dengan Jaemin yang belum menjawab pertanyaan Jeno. "Japchae, japchae buatan hyung."

Jeno hanya mengangguk sekali. Dia melajukan mobilnya dalam diam. Tak seperti sebelumnya yang berusaha mendapatkan perhatian Jaemin, kini ia memilih fokus dengan jalanan untuk segera pulang. 

***

Jeno menaruh sepiring Japchae yang masih panas dimeja. Jaemin sudah duduk disana dengan semangkuk nasi dihadapannya, siap menyantap masakan sang kakak. Alih-alih bergabung, Jeno memilih untuk duduk di sofa. Dia membiarkan Jaemin makan sendiri. Jaemin juga tidak protes, dia memakan masakan yang ia minta sebelumnya pada Jeno. Sumin yang melihatnya jadi ikut diam, bingung dengan anak-anaknya apalagi Jeno. Jarang sekali ia melihat Jeno diam dan tidak makan bersama Jaemin.
"Jeno, kenapa gak makan juga?"

"Nanti. Biar dia makan dulu aja."

"Kalian kenapa? bertengkar?"

Jeno menggeleng. Matanya masih menatap layar ponselnya dengan intens. Sumin kini beralih pada Jaemin. Ia ikut duduk disampingnya lalu memperhatikan Jaemin yang tengah makan. "Acara kalian gimana kemarin? seru?"

Jaemin mengangguk. Dia masih asik menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Sumin juga sesekali mengusap ujung bibir Jaemin. "Kenapa sih diem aja? Kamu lagi marah ya sama Jeno?"

"Enggak."

"Terus kalian kenapa? Ibu liat dari datang tadi kalian gak ngobrol. Sama-sama diem. Apalagi kamu, baru keluar suaranya sekarang."

"Bentar ya bu, Jaemin mau makan sendirian dulu sekarang."

Sumin mengangguk paham. Sepertinya kedua anaknya tengah bertengkar sekarang. Sumin memilih meninggalkan mereka berdua dan pergi ke belakang untuk mencuci baju. Jeno melihat Jaemin dari sudut matanya lalu berdiri. "Ibu juga harus tau gimana tangan kamu sekarang."

***

Kini mereka berdua benar-benar bertengkar. Jaemin yang tidak terima dengan ucapan Jeno dengan tidak sadar membentak sang kakak. Kesal kenapa Jeno harus memberitahukan hal kecil seperti itu pada Sumin. Jeno juga sama kesalnya dengan tingkah laku Jaemin. 
Dia juga tidak sadar menyebut Jaemin kekanak-kanakan dengan melakukan hal seperti itu. Jeno mengatakan jika Jaemin seharusnya lebih sadar bukannya malah semakin terjerumus dengan hal-hal seperti ini. Ucapan Jeno membuat Jaemin sedikit sakit hati dan memilih untuk tidak menyelesaikan makannya. Dia membiarkan japchae yang masih utuh belum ia sentuh dengan semangkuk nasi yang tinggal beberapa suapan lagi.

Jeno yang dalam keadaan emosi juga malah semakin marah melihat Jaemin tidak memakan masakannya apalagi dia sendiri yang meminta padanya. Dengan mudah Jeno mengambil piring berisikan japchae yang mulai dingin lalu membuangnya ke tempat sampah.
Tanpa ia ketahui japchae itu sengaja Jaemin tunda agar ia makan di akhir, bukan berniatan tidak memakannya. Keributan itu membuat Sumin bergegas menghampiri mereka dan hanya melihat Jeno yang menaruh mangkuk bekas Jaemin makan dengan kasar ke tempat cucian.

"Ada apa sih? Kalian tadi sama-sama diam terus baru bertengkar sekarang."

"Ibu harus tau kalau Jaemin baru saja menyakiti dirinya sendiri. Dan itu karena hidupnya yang menyedihkan sejak dulu dan salah satu penyebabnya ibu."

Sumin menatap Jeno sendu. Dia baru paham akar permasalahan mereka sekarang. Setelah Jeno meninggalkan rumah ia menyusul Jaemin yang ada dikamar. Anak bungsunya itu tengah menangis sambil berbaring. Ia memunggungi pintu sehingga Sumin tidak bisa melihat wajah Jaemin. Dia duduk di sebelah Jaemin. Tangannya mengusap rambut Jaemin pelan lalu menepuk-nepuk bahunya. "Gak apa-apa kok. Ibu gak marah kamu ngelakuin itu. Ibu malah mau minta maaf karena ibu salah satu penyebabnya. Kesalahan ibu banyak sekali. Harusnya kamu gak maafin ibu sama sekali. Ibu jadi salah satu trauma kamu sekarang ya?"

Jaemin mendengarkan Sumin sambil terisak. Ucapan ibunya juga benar, Sumin berada di daftar trauma nya sejak dulu. Jaemin tidak bisa bohong kalau luka yang Sumin buat masih belum hilang. "Ibu gak bisa bilang apa-apa selain bilang maaf berkali-kali sama kamu. Maaf ya putraku sayang..."

Sumin mencium kepala Jaemin cukup lama. Tangis Jaemin menjadi semakin keras. Sumin bersedia untuk mengobati luka yang ia beri pada Jaemin. Sumin ingin mengobati semua luka putranya itu. Meskipun jika dirinya harus pergi jauh agar Jaemin tidak melihatnya dan tidak mengingat luka itu, dia akan melakukannya.
"Kalau kamu ingin ibu pergi supaya kamu gak ingat sama lukanya lagi, gapapa. Ibu bakalan menjauh. Kamu bisa sama paman, bibi, Mark juga Jeno. Ibu akan datang kalau kamu yang minta aja."

Jaemin tidak mengira bahwa keinginan kecilnya dulu kini terjadi. Keinginannya agar Sumin menjauh dan tidak menyakitinya lagi terwujud. Dia bisa bilang pada Sumin kapan saja agar ibunya menjauh sejenak darinya.
"Jeno lagi pergi. Kalau butuh sesuatu panggil ibu saja ya? Nanti ibu bantu."

[]

Halooo
Semoga kalian sehat selalu yaaa
Maafkan aku yang baru bisa update sekarang lagi. Aku juga lagi dikit-dikit revisi cerita ini dari part 1 lagi.
Makasihh yaa udah sabar banget nungguin, maaf juga bikin kalian nunggu.

Aku sayang kalian para kesayangankuu

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Run, Na Jaemin!Where stories live. Discover now