Ike ingin berteriak namun dengan cepat Ghendis memasukkan tempe ke dalam mulut wanita itu. “Pagi, mana Akira?”

               Wajah Hiro sedikit cemberut. “Kenapa nanya Akira terus? Dia masih tidur. Kamu enggak rindu sama aku? Kamu bahkan enggak jawab telepon aku semalam.” Rajuk Hiro manja.

               Ghendis menggaruk tengkuknya, merasa canggung harus menjawab karena ada Ike yang nampak kehilangan jiwanya dengan tempe yang masih berada di mulut. Ghendis menoleh pada Ike dan memandang dengan galak. “Kunyah.”

               Ike menurut.

               “Ngobrol sama siapa?” tanya Hiro.

               “Sahabat aku. Kamu sudah rapi.” Ghendis memperhatikan Hiro yang sudah mengenakan setelan kerjanya.

               “Aku akan menghadiri meeting pagi. Kamu enggak ada di rumah, supir nginfoin kamu minta di antar malam-malam ke rumah teman kamu. Kenapa pergi malam-malam? Itu bahaya sayang.” 

              Ghendis mengerutkan kening, ia benar-benar tidak suka diawasi. “Aku ke rumah Ike.”

               Hiro menghela nafas. “Tolong lain kali infoin ke aku, aku enggak mau mendengar dari orang lain.”

               “Aku usahain.”

            Hiro terdiam memperhatikan wajah Ghendis. gadis itu menguraikan rambutnya dan hanya mengenakan bando dan memakai daster batik. Sungguh cantik! Andai Ghendis mau ikut ke Jepang bersamanya mungkin ia akan sangat bersemangat. “Kalau begitu aku tutup ya,” 

              Ghendis mengangguk. “Semoga urusan kamu lancar ya.”

               Hiro tersenyum lebar, ternyata Ghendis memperhatikan dirinya. “Sayang juga, kamu tutup duluan ya.”

               Ghendis menekan tombol merah dan menyimpan kembali Hpnya di meja, matanya menatap Ike yang nampak bingung dan tidak percaya. Ekspresi wanita itu cukup menghiburnya. 

              “Itu...itu...itu.... gue... gue... gue enggak khayalkan? Itu Hiro CEO itu kan?”

               Ghendis mengangguk santai dan kembali menghabiskan nasi gorengnya. 

              Ike meneguk teh manisnya hingga habis dan kembali menatap sahabatnya. Hatinya mulai tenang dari rasa terkejut. Sialan sahabatnya ini! Enggak kira-kira kalau kasih kejutan. 

              “CEO Hiro pacar lo?”

               Ghendis menghela nafas. “Yah,” jawabnya enggan. 

              “Sejak kapan? Gimana caranya lo gaet Ceo Hiro? Jadi anak didik lo itu anaknya CEO Hiro? Kalian tinggal bersama? Dan lo udah enggak perawan?” 

              “Yah... begitulah!” Ghendis sebenarnya tidak ingin menjawab namun Ike memaksanya. Akhirnya Ghendis menceritakan awal pertemuannya hingga akhirnya mereka bisa berpacaran. 

            Sepanjang cerita Ike hanya bisa menganga. Bagaimana tidak? Sahabatnya yang polos dan tidak pernah berpacaran, sekalinya memiliki pacar orang terkaya di negara dan salah satu milyarder di dunia. Pantas saja Ghendis nampak berbeda, gadis itu lebih cantik, bersinar dan bahagia meskipun ekspresinya masih tetap suram dan pakaiannya masih itu-itu saja. 

               “Dan bapak CEO terhormat itu nampak bucin sama lo.” 

              Ghendis mengendikkan bahu.

               “Lo masih perawan?”

               “Gue berprinsip untuk melepas keperawanan gue hanya untuk suami.” 

              Ike menggelengkan kepala. Jika ia berada di posisi Ghendis pasti ia akan menyerahkan segalanya untuk Hiro. Dan ia akan giat memuaskan pria itu di ranjang agar lelaki itu terikat kepadanya hingga tidak mencari kepuasan kepada perempuan lain.

                       Namun anehnya, Ike tidak melihat Ghendis antusias akan hubungan barunya. Ghendis tetaplah acuh, datar, dingin bahkan ketika CEO Hiro menghubunginya, sangat jelas jika hanya CEO Hiro saja yang antusias dalam hubungannya sementara Ghendis nampak ogah. 

              “Lo cinta dia?” tanya Ike penasaran.

Mrs 30Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang