Empat

19.3K 933 14
                                    

Ghendis berbalik dan menoleh, matanya menatap Akira yang memandangnya dengan tampang memelas dan itu sangat menggemaskan. Akira merentangkan kedua tangannya seakan-akan memintanya untuk di peluk.

Ghendis mengerutkan kening, melirik Ayah Akira yang juga menatapnya. Ia bingung apakah sebaiknya kembali pada Akira atau bekerja. Tetapi, kenapa ia harus kembali pada Akira? Itu bukan kewajibannya untuk mengasuh anak itu lagipula ada Ayahnya dan mungkin Ibunya berada di dalam aula. Ia juga harus kembali bekerja, jangan sampai ia dianggap malas dan upahnya dipotong.

Ghendis menyatukan kedua telapak tangan dan menaruhnya di dada seakan meminta maaf pada Akira. "Maaf Akira, Tante harus kembali bekerja. Semoga lain kali kita bisa bertemu." Ucap Ghendis lalu berlari pergi.

Hiro yang melihatnya membelalakkan mata terkejut. Ini pertamakalinya ada orang yang mengacuhkan putranya? Apakah gadis itu tidak tahu banyak perempuan di luar sana yang menginginkan perhatiannya dan mendekati mati-matian Akira?

Sementara entah siapa gadis itu dengan mudahnya mengacuhkan putranya?!

Astaga!!!

Hiro melirik putranya yang sudah memerah dan menangis tanpa suara. Ekspresi putranya menatapnya kesal. Hiro menghela nafas lalu menepuk kepala bocah gembul itu. "Ayo kita pulang, sudah waktunya kamu tidur siang."

"Papa,"

"Hmm?"

"Aku ingin Tante Ghendis,"

Ghendis? Ah jadi nama gadis itu Ghendis. "Kita pulang dulu." Hiro memandang dingin keempat anak buahnya yang kini sudah berdiri dengan menahan ekspresi kesakitan. "Kalian dipecat." Ujarnya dingin dan pergi.

Sementara Ghendis kembali ke dalam dapur dan membantu mengeringkan piring. Ia merasa kesal dengan kejadian tadi, karenanya perutnya belum kenyang, bahkan ia baru makan beberapa suap. Seharusnya ia tidak mengikuti naluri mendekati bocah lucu itu. Bukan saja perutnya yang lapar, badannya juga sakit karena harus berkelahi.

"Anak itu mana?" tanya Ririn yang baru datang membawa setumpuk piring kotor.

"Udah sama Ayahnya. Oh iya dus makan punyaku mana ya?"

"Tadi di buang sama Heri, di kira Heri itu udah enggak di makan lagi."

Ghendis mendesah frustasi dan kembali mencuci piring. Pulang dari sini dan mendapat upah ia akan mencari tempat makan enak.

...

Ghendis berdiri di sebuah cafe. Ia ingin masuk namun melihat tempat yang penuh membuatnya merasa ragu untuk masuk. Sudah 5 tahun ia mengurung diri di kamar dan membuatnya merasa tidak nyaman berada di tengah keramaian. Ghendis menimbang apakah ia akan masuk atau tidak. Matanya berkeliaran melihat orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.

Sedikit rasa minder muncul di hatinya. Di pandangannya, orang lain begitu bersinar, muda, cantik, tampan dan menyilaukan. Sementara ia terlihat berantakan, badannya bau karena asap makanan, rambutnya lepek karena keringat dan ia merasa sangat tua juga kesepian.

Ghendis menghela nafas dan membalikkan badan. Ia memilih untuk pulang saja, membuat mie instan dan memakannya di kamar.

Ya itu lebih nyaman.

Menggunakan ojek online gadis itu akhirnya sampai di rumahnya. Begitu ia turun dari motor, bertepatan dengan Chitra yang baru saja pulang dengan seorang pria menggunakan mobil. Chitra tersenyum menatapnya. "Kak,"

"Baru pulang?" tanya Ghendis melirik pria tampan yang berdiri di samping Chitra menatapnya dengan ekspresi tidak menyenangkan. Adiknya memang luar biasa, baru putus sudah dapat tangkapan baru.

Chitra mengangguk lalu melirik laki-laki tampan di sebelahnya. "Oh iya ini Kevin, Kevin ini Kakakku Kak Ghendis."

Kevin hanya menganggukkan kepala sebagai perkenalan membuat aura Ghendis sedikit muram namun gadis itu hanya memasang wajah datar. "Kalau gitu Kakak masuk ke dalam,"

"Oke Kak."

"Itu Kakak kamu?" tanya Kevin begitu Ghendis sudah masuk ke dalam rumah.

Chitra mengangguk. "Kenapa? Kamu ngerasa enggak nyaman? Kakak memang agak judes, maaf ya."

Kevin tersenyum, lelaki itu membelai rambut ikal cantik Chitra. Dia cukup kaget karena ia pikir jika wanita itu adalah asisten rumah tangga, menilai dari penampilannya yang sangat kucel dan tidak ada kemiripan dengan gadis yang sedang di dekatinya ini.

"Ayo masuk, Vin."

Kevin mengangguk, merangkul pinggang ramping Chitra dengan mesra. Mereka memang belum resmi berpacaran, namun Kevin dan Chitra sudah memiliki kedekatan yang cukup intim. Bahkan mereka sudah berciuman dan sebenarnya Chitra sejak pagi berada di apartemennya yah tak perlu di jelaskan apa yang mereka lakukan.

Intinya gadis ini mampu membuatnya puas. Ia mungkin terlihat kalem namun ia unggul dalam memanjakan pria. Kevin ingin menjadikan Chitra sebagai istrinya dan ia harus mendekati keluarga gadis itu dulu.

"Ma!!" panggil Chitra. Ibu dan Ayahnya berada di halaman belakang. Mendengar suara putri kesayangannya, mereka tergesa-gesa menghampiri.

"Sayang sudah pulang? Eh siapa ini?" tanya Mama menatap Kevin. Mata Ibunya mengamati penampilan mahal Kevin dari atas hingga bawah serta wajah tampan pria itu. Setelah selesai mengamati, ekspresi Mama semakin cerah.

"Kenalin Ma ini Mas Kevin, bos aku di kantor."

Mata Mama melebar sementara Papa hanya diam di sebelah menatap waspada. "Aduh... makasih ya Mas Kevin dengan sangat baik hati memperkejakan anak Mama." Ucap Mama sengaja menyebut dirinya 'Mama' agar lebih dekat.

Kevin menyalami Mama dan Papa. "Chitra karyawan terbaik saya, Ma."

"Ayo duduk! Sudah makan? Kebetulan tadi Bi Ema masak daging rendang."

"Ma, kita tadi makan dulu kok. Oh Iya Mas Kevin bawain cheesecake favorit Mama lho!"

Di lantai atas, Ghendis mengamati pemandangan hangat orangtuanya dengan adik dan mungkin calon keluarga mereka. Mamanya selalu tersenyum pada Chitra ataupun si bungsu, namun padanya selalu marah atau mengeluh.

Melihat pemandangan itu membuat Ghendis sedikit iri. Gadis itu tadinya ingin turun membuat mie instan, namun melihat pemandangan itu membuat ia malas turun ke bawah. Untung saja Bi Ema menyimpan setoples ranginang di kamarnya untuk di cemil. 

Mrs 30Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora