Tiga Belas

16K 854 10
                                    

         Ghendis termenung menatap kamarnya, rasanya sangat berat untuk meninggalkan tempat teramannya. Tangannya memegang koper dengan erat, wajahnya nampak sangat tenang, namun tidak ada yang tahu jika hatinya berkelut kesah. Ada rasa takut dengan pilihannya.

Namun, mengingat dirinya selalu direndahkan, dianggap tidak berguna, menguatkan tekadnya dengan apa yang dipilihnya.

Ia tidak tahu bagaimana ke depannya, tetapi setidaknya saat ini ia mengambil langkah sesuai dengan pilihannya.

Menghela nafas, Ghendis keluar dari kamar. Ia melihat Bi Ema yang sedang mencuci piring di dapur dan mengangguk sopan ke arahnya, Ayahnya sudah berangkat kerja tadi pagi, Chitra juga sudah berangkat, adik bungsunya Abi setelah sarapan pergi ke rumah temannya, dan Mama....

Ghendis melirik Ibunya yang sedang duduk di sofa dengan pandangan lurus menuju TV. Ibunya sama sekali tidak menoleh ke arahnya, bahkan sejak pagi Ibunya tidak mau berbicara dengannya.

Ia tahu jika Mama tidak suka dengan keputusannya. Mama memiliki pemikiran jika anak perempuan yang belum menikah tidak boleh keluar dari rumah. Karena itulah Chitra hingga saat ini tinggal bersama mereka, padahal tempat kerja Chitra harus menempuh satu jam lebih.

Namun Ghendis merasa ia sudah tidak nyaman berada di rumah. Melihat pandangan orang kepadanya membuatnya merasa semakin rendah akan dirinya sendiri.

"Ma, Aku pergi dulu." Ujar Ghendis.

Mamanya tidak menjawab apapun, bahkan tidak menoleh kepadanya. Ghendis menatap kembali Ibunya dan akhirnya menyerah. Ia memantapkan langkahnya dan keluar dari rumah.

Ketika Ghendis hendak membuka pagar rumah, ia terkejut dengan kehadiran mobil range rover biru di depan rumahnya. Lelaki yang ia kenal turun dari mobil tersebut dan membukakan pintu untuknya.

"Silahkan Nona Ghendis,"

Ghendis mengangguk dan ketika ia hendak masuk, matanya melotot melihat dua orang yang tidak ia sangka.

"Tante!!" Akira menyambutnya dengan senyum lebar.

Ghendis tidak menyangka jika Akira ikut menjemputnya bahkan bersama Ayahnya yang hanya mengangguk sebagai tanda sapa. Ghendis duduk di sebelah Akira dan anak itu langsung duduk di pangkuannya, memeluknya erat.

"Dia enggak sabar ketemu kamu dari bangun tidur." Ucap Hiro dengan wajah dingin.

Ghendis memeluk Akira, mencium harum shampo dari rambut anak itu. Memandang Hiro sebentar, bingung harus berbicara apa.

Ghendis teringat sesuatu. Ia mengambil tupperware di dalam tas ranselnya dan membukanya. Pizza yang sudah ia hangatkan tadi pagi. "Mau?" tanya Ghendis pada Akira.

Akira mengangguk dan Ghendis dengan segera menyuapinya. Ghendis melirik Hiro yang menatapnya. "Bapak, mau?"

"Saya sudah kenyang."

...

Ghendis, Akira dan Hiro turun dari mobil. Tanpa kata Hiro memimpin mereka jalan, di mana Ghendis menggendong Akira di sebelahnya. Sekilas dari pandangan orang lain mereka tampak seperti keluarga yang tengah berjalan santai.

Mata Ghendis menatap kolam renang besar di tengah perumahan, matanya berbinar dan ia berencana untuk membawa Akira berenang di sana. Sudah lama juga ia tidak berenang.

"Berat?" tanya Hiro tiba-tiba.

Ghendis terdiam sesaat, sejak awal berangkat Akira terus duduk di pangkuannya dan menempel padanya. Entah sudah berapa lama tangannya kaku memeluk Akira dan ia memang merasa pegal.

Mrs 30Where stories live. Discover now