Chapter 65. They All Knows

2.4K 260 15
                                    

Chapter 65

They All Knows

Pram masih mendekapku erat, mencium kening dan bibirku hangat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pram masih mendekapku erat, mencium kening dan bibirku hangat. Aku nyaris terisak seperti anak kecil saat bibirnya menelangkup bibirku dan memagut lembuuut sekali. Ada senyum kecil di ciumannya, seolah dia sedang menenangkan seorang kekasih manja yang dipenuhi insekuritas, yang nggak bisa jauh darinya barang sebentar, membutuhkan perhatiannya 24 jam penuh tujuh hari dalam seminggu,  lalu ditinggalkan tanpa pemberitahuan sebelumnya seharian penuh. Aku letih. Sejak dia datang, hariku hari ini hampa tanpanya. Seperti hari-hariku belasan tahun lalu jika aku nggak sempat mencuri waktu di antara tumpukan tugas-tugas sekolah untuk mengendap-endap mengintip kesehariannya.

Pramana melumat bibirku, pelan dan khidmat. Jemarinya menyelinap di antara helaian rambut dan mendekap erat pinggangku. Dadaku dan dadanya beradu, bertalu. Aliran darahku menggelegak oleh gejolak hasrat, menghangatkan desau napasku. Rasanya nggak masuk akal. Ini adalah semua hal yang kuinginkan saat remaja, berpelukan dan berciuman dengannya di taman rumah Dokter Astuti seperti salah satu kisah yang dilontarkan Diana tentang kemesraan mereka. Terwujud belasan tahun lebih lambat.

Aku membalas lumatan demi lumatan, membuka celah di bibirku lebih lebar, membiarkan lidah Pramana membelit lidahku. Tanpa kusadari, lenganku sudah merangkul lehernya, membelitnya erat hingga hanya ujung jempol kakiku yang masih berpijak di tanah. Bibir Pramana mengakhiri pagutan dengan kecupan, lalu kami sama-sama membuat jarak. 

Napasku tersengal. Pun napas Pramana. Bola matanya berkilau berlumur hasrat. Aku berusaha meredam keinginan untuk mengajaknya berbuat lebih karena aku nggak tahu sampai di mana aku akan bertahan dengan keinginanku. Kuredam sengal napasku, tapi usapan tangan Pramana di punggungku sama sekali nggak membantu. Aku mengesah putus asa. Kulekatkan keningku ke dagunya, kubiarkan bibirnya tertanam di sana. Selama beberapa saat, aku dan Pramana sama-sama mengatur napas yang menggebu.

Saat aku mendongak, Pramana sedang tersenyum.

Bibirku cemberut. "Aku ke sini buat ngasih tahu size set sample-ku sudah selesai dan kamu harus buru-buru mengeceknya," kataku sambil mencengkeram erat kedua sisi kausnya di pinggang dan mendorongnya mundur.

"Kalau begitu caramu memberitahu bahwa sampelmu udah selesai, aku bakal nempelin defect sticker lebih banyak lain kali."

Aku merah padam.

Pramana menggigit bibirnya, kedua tangannya merenggut rahangku dan menarik wajahku mendekat padanya. "Aku punya satu pertanyaan."

Aku hanya menunggu dengan jantung berdebar sementara Pramana nggak berhenti memindai bibirku.

"Kenapa bibirmu rasanya bisa sangat enak?" bisiknya. "It tastes like bubble gum, it shot right into my brain and spreads all over my body with tingling joy and pleasure. It tastes like an old love I've lost and finally find it back."

Factory RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang