Chapter 6. Bukan Spec Idamanmu

9.6K 2K 447
                                    

Kalau misalnya votesnya bisa 600an, aku langsung update part 7, ya.
Gak ada paksaan sih tapi. Cuma tes ombak aja 😆

 Cuma tes ombak aja 😆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ja—jangan, Pram... a—aku masih perawan...."

Mata Pram membola.

Jantungku berdentum kencang sekali. Memalukan.

Aku khawatir Pramana bisa mendengarnya.

Jarak di antara kami begitu sempit sampai-sampai aku berani berpikir dia sebenarnya ingin menggodaku, bukan menyiksaku. Astaga, dari jarak sedekat ini, dia makin wangi dan tampan. Aroma parfum pria semerbak subtil mengelilinginya, aku harus menahan diri untuk nggak memejamkan mata dan mengendus. Saking dekatnya berhadapan dengannya, aku bisa melihat pori-pori halus di sekitar hidung dan bawah matanya, juga rambut-rambut sangat halus yang membiru di seputar rahang dan bibirnya. Aku mengalihkan tatapan dari manik matanya, memandang tak fokus pada batang hidungnya yang sangat mancung tapi demikian pas dengan bentuk mukanya yang simetris. Dulu aku suka sekali membuat sketsa wajahnya dan aku menghabiskan waktu terbanyak melukis alisnya yang datar dan tebal.

Pram menepuk pundakku. "Aku turut prihatin, Nggrid, umur segini kamu masih perawan," katanya lembut.

Bola mataku naik lagi menatapnya.

"Tapi bukan itu maksudku!"

Habis membentak, dia lalu mundur selangkah. Sampel gaun warna navy yang direnggutnya tadi dicampakkannya di dadaku.

"Gila... kamu ngapain aja sih selama ini sama QA-QA sebelum aku, hah? Baru disuruh buka baju, pikirannya langsung ke situ. Pakai itu!"

Aku menunduk memandangi pre-buyer reference sampel di tanganku. Sampel seperti ini biasanya di-develop sendiri oleh QA officer seperti Pramana dan akan dimintakan approval sama pihak berwewenang di kantornya. Aku meletakkannya di meja, lalu melucuti celemekku.

"Ngapain kamu?"

"Buka baju," jawabku.

"Ya nggak di sini juga, dong, Inggriiid...."

"Buka celemek, maksudku...," ralatku, bergetarnya suaraku. Maksudnya, tuh, aku lagi mikir sambil buka celemek. Kenapa jadi aku yang disuruh fitting sampel? Biasanya bukan aku. Lagi mikirin kalimat buat protes, udah ditanyain duluan.

Pramana mendecap kencang, gemas sekali kedengarannya. "Sana!" hardiknya, seraya mundur lebih jauh dan ngasih isyarat dagu ke arah sample room.

"T—tapi, Pram... Pak Pram... anu... biasanya... yang jadi model fitting sampel bukan saya...."

"Pak Pram?"

"Pramana...?"

"Kamu inget aku siapa, kan?"

"I—ingat."

"Kita pernah satu sekolah waktu SMA... kamu nggak ingat?"

Bukan lagi... mana mungkin aku bisa lupa?

"Aku kemarin ke launching buku konyolmu... itu namaku kan yang kamu tulis di buku?"

Factory RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang