tiga puluh lima

552 65 5
                                    

Tiga puluh lima



"Mbak pulang, ya? Nanti mbak minta Tirta bawain makanan kesini, sama kamu mau titip sesuatu gitu gak, Di?"

Yudhistira menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya yang datar meski disembunyikan oleh senyum tipis yang coba dipaksakan tentu tak bisa Deswita abaikan. Namun dia tahu, bukan kuasanya untuk terus menerus menuntun adiknya itu. Yudhistira sudah dewasa, bisa menentukan apa yang harus diambilnya. Dan tugasnya, hanya mengingatkan bila jalan yang dipilh salah. Selebihnya, itu kuasa Yudhistira sendiri.

Tatapannya beralih pada Praba yang tersenyum sembari menggendong Ganesha. Dilangkahkan kakinya menuju Praba dan memeluk tubuh perempuan itu seraya berbisik meminta Praba memikirkan semuanya matang-matang.

Tentu, sekali lagi dia tak bisa seenaknya meminta Praba untuk terus bertahan pada adiknya, meskipun ingin. Yang menjalani Praba, yang merasakan apa yang dirasakan juga Praba. Orang luar hanya melihat kulitnya jadi tak perlu berkomentar seolah mengerti perasaan yang tengah dirasakan karena pada dasarnya tak mungkin bisa merasakannya. Kecuali, orang tersebut pernah berasa di posisinya. Itupun, batas toleransi seseorang berbeda-beda. Jadi, sekali lagi untuk kali ini dia serahkan semuanya pada mereka yang menjalaninya.

Namun dalam hatinya tetap berharap, baik Praba maupun Yudhistira akan berusaha mempertahankan pernikahan mereka lalu memperbaikinya agar kembali hidup selayaknya pasangan pada umumnya. Yang saling terbuka, mengasihi, juga mempercayai. Bukan diam bersikap seolah asing yang berada dalam satu ruangan menjaga seorang bayi yang tengah kesakitan, dan tentu, bila mereka berpisah, bayi itu lah yang menjadi korban.

"Di?" Lagi dan lagi Yudhistira hanya menyahut pelan, tetap berjalan dengan tatapan datar terarah ke depan. "Jangan lupa makan. Belum makan, kan?"

Setelah mengatakan beberapa hal yang hanya mendapat tanggapan anggukan juga deheman, Deswita pulang. Meninggalkan Yudhistira yang kemungkinan hatinya masih begitu kacau mengingat kembali percakapan Deswita juga Praba.

"Lagipula, Mbak, janjiku pada ibu sudah terwujud. Melahirkan anak mas Didi yang pasti semuanya akan menyayangi putraku itu. Dan aku yakin, Ganesh akan lebih baik dengan mas Yudhis dari pada aku yang bahkan masih mempertanyakan apa tujuanku ke depannya."

Tak lantas terdengar sahutan Deswita, pun dengan Praba yang emosinya seperti terkuras cukup banyak tat kala mengatakannya.

"Boleh mbak tanya sesuatu? Itupun kalau kamu mau menjawabnya." Hening kembali menyerbu, menyisakan ketakutan yang kian menjalar juga kekecewaan akibat perkataan yang sudah Praba lontarkan. "Selama ini, apa kamu pernah mencintai Didi?"

Praba tampak menunduk. Bahu perempuan itu bergetar hebat menandakan jika dia menangis cukup kuat namun ditahannya.

"Sejak awal. Sejak aku menyandang jadi istri dia, aku menerimanya, berusaha mencintainya meski saat itu--" Praba tak melanjutkan ucapannya, bahunya kian bergetar hingga Deswita bergerak cepat memeluk tubuh ringkih itu.

"Aku selalu mencintai mas Yudhis, Mbak. Terlepas dari semuanya, aku mencintainya, bahkan sampai saat ini pun masih." Praba tergugu menjelaskan, masih dengan tangis yang sama, perempuan itu kembali melanjutkan. "Tapi untuk saat ini, rasa kecewa yang aku rasakan teramat besar, Mbak, besar. Sakit yang aku rasakan pun, juga begitu dahsyat dibanding sebelumnya," aku Praba dengan suara bergetar.

"Mungkin karena dulu diawal kami menikah aku cukup mengerti posisinya. Dipaksa, hingga putus dengan orang yang dicintainya, lalu harus menerima orang yang sama sekali gak dikenalnya. Aku mencoba mengerti. Tapi sekarang? Bahkan setelah aku cerita semuanya ke mas Yudhis, setelah dia tahu semuanya, dengan teganya dia masih menyembunyikan semuanya dariku? Dan selama itu? Detik itu juga aku tahu, aku memang seenggak berarti itu untuk mas Yudhis kan, Mbak? Iya kan?"

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang