dua puluh lima

521 49 17
                                    


Dua puluh lima.

Entah dia harus bersyukur atau mungkin kembali kecewa karena harus secepat itu berpisah dari Arsya, Praba dengan bibir manyun ke depan sangat memberatkan kepergian Arsya yang begitu cepat bertemu dengannya.

"Kita bisa ketemu lagi kapan-kapan, Nduk. Bareng Irvin juga."

Masih memanyunkan bibir, Praba berdecak sesekali mencubit lengan Arsya yang kekar. "Katanya mau ketemu suamiku yang mok raguin mirip Deva Mahenra, ini dia otewe kesini loh, malah pergi. Gimana, sih?"

Arsya meringis menahan perih cubitan Praba yang masih sama kecilnya seperti dulu. Jika perempuan ini kesal, lampiasannya pasti adalah lengannya. Entah itu dicubit, digigit, atau bahkan di remat. Sesadis itu memang perempuan ini. Tidak kebayang suaminya pasti mendapatkan lebih banyak siksaan yang Praba berikan.

"Sudah dibilang masih bisa kapan-kapan. Ini aku kudu nemuin investor yang sudah datang. Kalau gak cepat, orangnya akan hilang dan rencana buat ngegaet doi ke perusahaan gagal."

Praba mau tak mau akhirnya melepaskan jeratan tangannya dan membiarkan Arsya pergi mengurus pekerjaannya.

"Meski kamu mencoba menutupinya, dan bahkan Irvin percaya, Mas gak sepenuhnya percaya begitu saja. Kamu tak sepenuhnya bahagia, Nduk. Entah apa yang membebani pikiranmu saat ini meski udah kamu coba tutupi. Untuk kali ini, kamu benar-benar tidak sendiri, ada mas disini. Jika dulu kamu menghadapi semuanya sendiri, ketakutan sendirian, kini ada Mas. Hem? Janji sama, mas, begitu kamu siap, kita bertemu, ceritakan semuanya baik di masa lalu atau saat ini yang kamu hadapi. Ya? Mas pergi dulu."

Itu ucapan panjang yang Arsya ucapkan sebelum benar-benar pergi meninggalkannya yang terpaku terdiam. Bagaimana bisa Arsya melihatnya? Sesuatu yang dia coba sembunyikan serapat mungkin sampai semua orang berpikir dia baik-baik saja, kakaknya itu menemukan kejanggalan yang disembunyikan.

Persis seperti yang kini suaminya perlihatkan yang menuntut penjelasan apa alasan ia meminta Yudhistira menjauhi keluarga Cakra.

Genggaman erat tangan Yudhistira yang kini melingkupi jemarinya seolah mengisyaratkan bila lelaki itu akan melindunginya. Memberikan kenyamanan dari ketakukan yang tengah dia rasakan. Tepatkah?

Kemudian dia sadar. Bila selamanya itu dia sembunyikan, sudah pasti permasalahan akan terus berdatangan. Entah apa yang akan terjadi ke depan, pengakuan Yudhistira yang mengatakan jauh lebih dulu mengenal Aruna cukup membuatnya ketakutan. Bagaimana bila Aruna mengarang cerita yang mana perempuan itu lakukan seperti sebelumnya?

"Mas, kamu tahu aku berasal dari panti kan?"

Mengulur waktu sembari menyiapkan kata-kata yang harus ia katakan.

"Iya. Dan kamu diasuh oleh almarhum temannya ibu."

Praba mengangguk. Helaan panjang perempuan itu keluarkan dengan tangan semakin mengeratkan genggaman. "Sebelumnya aku sudah diambil keluarga kandungku, Mas. Tepatnya, sebelum ikut ibu, aku diasuh oleh eyang, ibu dari ibuku."

Yudhistira diam. Dia tak mengetahui ini sama sekali. Bahkan mungkin Deswita pun tak mengetahuinya sama seperti dirinya.

"Ibuku hamil saat dia masih duduk di bangku kuliah. Cita-citanya, mimpinya, semua hancur dalam sekejap karena dia mengandungku."

Mulutnya hendak terbuka meminta Praba untuk berhenti bercerita jika ini menyakiti hatinya. Sayang, perempuan itu menggeleng seolah mengisyaratkan jika memang dia benar-benar ingin bercerita. Semua-muanya. Seperti keinginannya tadi sebelum kesini saat menenangkan diri. Sayang, mendengar langsung penjelasan Praba, dirinya ketakutan.

Praba kembali mengeratkan genggaman tangan mereka meminta kekuatan juga perlindungan. Mengungkapkan bahwa, dengan ini dia sepenuhnya percaya dengan Yudhistira. Suaminya.

Kelana Merajut AsaWhere stories live. Discover now