empat

619 66 10
                                    

Empat

"Kak, beneran gak titip garang asam?"

Pertanyaan Aris --yang mungkin untuk ketiga kalinya-- dilontarkan kepada Praba yang kini tertawa merasa geli karena Aris seperti enggan percaya pada dirinya.

"Enggak, nanti mau dibeliin mas Yudhis," jawabnya untuk kesekian kali.

Meski begitu, Aris masih saja gamang dan meninggalkan kediaman Waseso, pemuda itu berpesan bila Praba butuh apa-apa bisa menghubunginya. Tentu Praba merasa senang.

Diantara banyak penolakan yang dia terima --meski tidak ditunjukkan secara terang-terangan-- di keluarga ini, ada simbok juga kedua cucunya yang selalu menjadi teman bicara, tentu ibu mertuanya yang dengan tangan terbuka sedari dulu menggenggam tangannya dan menariknya dari lubang kelam.

Biarpun banyak orang mengatakan Sekar Waseso itu kejam, tak berhati, dan hal buruk lainnya, tetap saja wanita yang kerap mengenakan kebaya juga konde khasnya itu yang orang yang pertama dan satu-satunya yang menyelamatkan dirinya.

Sesuatu yang sangat berharga saat ia ingin mengakhiri hidupnya kala itu. Mungkin, bila tak ada uluran tangan juga belas kasihan dari wanita itu, sudah pasti dia tidak ada di dunia ini. Dia pasti sudah menyusul ibu juga neneknya yang telah pergi terlebih dahulu meninggalkan dirinya sendirian di tengah kejamnya dunia.

"Nduk..." Panggilan simbok mengalihkan tatapannya dari layar televisi yang tengah menampilkan acara berita terkini.

"Dalem, Mbok?" Praba menyahut pelan, menurunkan kedua kakinya yang diselonjorkan di sofa.

Simbok datang tergopoh-gopoh membawa segelas minuman yang dari aromanya tercium khas jahe juga teh aroma melati.

"Minum dulu, biar ndak mual lagi."

Senyum Praba merekah lebar. Diambilnya gelas dengan tataan piring kecil di bawahnya itu lalu menyesapnya pelan.

"Masih pusing?"

Praba mengangguk singkat. Mungkin terlalu lama menundukkan kepala berkutat dengan iPad membuat otot lehernya tegang hingga timbul rasa pusing sekaligus mual hingga sayur bening bayam juga bakwan jagung yang simbok buatkan untuk menu makan siangnya harus keluar semua.

Praba mendesah pelan mengingatnya. Bila pekerjaannya tidak mendesaknya untuk merampungkannya dan tenggat waktu yang diminta hari ini, mungkin dia tak akan memaksakan diri. Kondisinya pula yang membuatnya terus menerus mengulur waktu dan bila kali ini ia ulur lagi --sedangkan kliennya sudah memahami kondisi yang ia alami-- maka kredibilitasnya akan dipertanyakan.

Sejak semalam pula dia mewanti-wanti jabang bayi yang ada di perutnya untuk bisa diajak kerja sama setidaknya untuk hari ini saja. Dia berharap tidak akan muntah saat bangun hingga membuat kondisinya lemah padahal baru memulai hari. Dan seperti mengerti dan menuruti permintaannya, pagi tadi dia bangun dengan kondisi segar, meski dia muntah dan itu hanya sedikit tak sampai membuatnya lemas hingga harus menyeret tubuhnya untuk kembali ke tempat tidur.

"Aris bilang gak jadi titip garang asem. Udah ndak kepengen to?" Simbok mengambil gelas dari tangan Praba dan meletakkannya di meja yang masih bisa perempuan hamil itu gapai.

Seulas senyum tipis tercetak di bibir pucat Praba, belum lagi debaran halus yang perlahan merayap di hatinya yang membuat perutnya tergelitik hingga dia menahan diri untuk tidak terus terusan menarik bibirnya lebar-lebar.

"Mas Yudhis katanya mau beliin nanti, Mbok. Jadi gak titip Aris."

"Mas Didi?" Praba mengangguk malu, matang yang menggulir ke segala arah tak sempat melihat bagaimana keraguan yang diperlihatkan simbok atas ucapannya hingga wanita paruh baya yang sedari muda telah mengabdikan diri di keluarga Waseso ini akhirnya menunjukkan senyum tipisnya lalu berlalu begitu saja dengan perasaan cemas takut nyonya mudanya kecewa.

Kelana Merajut AsaWhere stories live. Discover now