lima

678 69 21
                                    

Lima


"Nduk?"

Tentu Praba terkejut dengan kedatangan tiba-tiba simbok tat kala dia membuka pintu kamarnya.

"Memangnya saya kenapa, Mbok?" Praba bertanya balik sembari menampilkan senyum lebarnya. Perempuan yang jarang sekali mengenakan daster itu tampak ayu dengan rambut tergerai yang di mata simbok malah semakin terlihat memprihatinkan.

"Ndak papa, mbok hanya takut kamu lemes lagi. Muntah ndak tadi?" Melihat gelengan kepala Praba kelegaan mengisi rongga dada simbok.

Perempuan paruh baya itu khawatir Praba semalaman tidak tidur atau mungkin rewel. Mengingat semalam setelah cukup lama menunggu Yudhistira datang--yang sayangnya tak jua pulang-- Praba memilih langsung masuk ke kamar dan simbok yang kebingungan hanya bisa memghela napas panjang.

Pintu kamar juga terkunci rapat, bahkan Sari, pekerja lainnya beberapa kali mengecek pintu kamar Praba berjaga-jaga bila majikannya itu keluar, namun pekerja itu tak juga mendapati sosok Praba menunjukkan diri. Dikarenakan ketakutan, pagi ini simbok ingin memeriksa sendiri kondisi Praba dan syukurnya perempuan hamil itu tampil dengan wajah lebih segar meski kantung mata hitam tak bisa dielakkan.

"Mau makan apa, Nduk?"

Simbok berjalan beriringan dengan Praba ke ruang makan. Ada Sari juga Lastri, pekerja yang biasa mengurus dapur juga kebersihan di rumah ini, yang sesekali mencuri pandang ke arah Praba yang minta dibuatkan teh jahe.

"Tiba-tiba pingin dimasakin mbak Dewi, mbok." Praba mengatakannya pelan, tersimpan ketakutan juga segan tat kala mengingat bagaimana Deswita dan keluarganya --meski baik terhadapnya tetap saja tembok tinggi yang seolah memberi batasan kepadanya membuatnya tak enak hati.

"Mbak Dewi?" tanya simbok memastikan. "Mau mbok bilangin ke mbak Dewi, nduk?"

Praba menggeleng cepat, perempuan itu merebahkan kepalanya ke meja sembari memperlihatkan mbok Lastri memasukkan gula ke dalam gelas teh jahe miliknya.

"Segitu aja, Mbok!" serunya mencegah mbok Lastri menambahkan gula ke dalam minumannya. "Aku maunya agak siangan, Mbok. Cuma bingung juga bilangnya gimana," akunya jujur.

Apa ya...

Kedatangan Praba di keluarga ini memang diterima dengan baik. Hanya saja, entah hanya perasaannya saja atau memang begitu adanya, anak pertama ibu mertuanya beserta keluarganya selalu menatapnya dengan tuduhan penghancur hidup Yudhistira. Seolah label dia sebagai penghancur hidup lelaki itu masih melekat di mata mereka. Meski memang mereka kerap berbasa-basi, tapi memang hanya sebatas itu.

Toh, dia merasa wajar sebenarnya. Yudhistira adalah bungsu sekaligus kesayangan keluarga ini. Bahkan mbok Lastri dan mbok Sri saja sampai sekarang masih sering membandingkan dirinya dengan Rida atau perempuan yang pernah diajak Yudhistira menemui ibunya namun berakhir penolakan. Dan mungkin karena kedatangannya yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Sekar Waseso dan membuat hidup Yudhistira porak-poranda, mereka semua merasakan kesakitan yang lelaki itu rasakan.

Buktinya semalam dengan amat lancang Ratri mengatakan bila dia tak ada keperluan juga kepentingan menanyakan keberadaan Yudhistira. Pegawai suaminya itu bahkan dengan tanpa memfilternya terlebih dahulu mengatakan jika dia pendatang yang menghancurkan hidup orang demi kepentingan pribadi.

Ingin diabaikan tetep kepikiran, dipikirkan semakin membuat kepalanya nyut-nyutan.

"Mbak itu siapa sih sebenarnya? Bisa gitu hancurin usaha mas Didi hanya karena keegoisan sendiri? Seharusnya sebelum jadi istri teliti dulu profesi suami biar gak salah langkah dan merugikan banyak pihak. Ego dipelihara."

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang