sembilan belas

494 55 10
                                    


Sembilan belas


"Udah paham, ya, nanti kayaknya gak seribet ini kok, Dek, kalau dilakuin. Cepet aja gitu." Deswita menjelaskan sembari menunjukkan susunan acara yang tak lama mereka bahas dengan pihak EO untuk menangani acara tujuh bulanannya. "Atau kamu mau request yang lebih spesifik, Dek? Seperti pakaiannya apa, detile dekornya gimana?"

Praba yang --sejak tadi tercengang dengan apa yang baru kali ini ditemuinya-- menatap Deswita tak percaya. Setelah semua-mua detile yang dijabarkan kakak iparnya dari hal terkecil sampai yang inti, ia sampai tak tahu harus memikirkan apa. Seperti...ini beneran terjadi gak sih? Pertanyaan itu terus saja berkubang di kepalanya.

"Ini semua sudah sesuai kok, Mbak," jawab Praba pada akhirnya. Perempuan itu menganggukkan kepalanya meyakinkan Deswita yang tampak tak percaya. "Iya, Mbak. Mbak Dewi tuh udah jelasin detilnya gimana, dan aku setuju aja. Soalnya aku gak begitu tahu perihal ini."

"Bener? Gak kebayang apa gitu?"

"Enggak. Semua udah lebih dari cukup, mbak." Melihat kesungguhan Praba, mau tak mau Deswita menghela napasnya menerima semuanya.

"Nanti kalau berubah pikiran mau ganti konsep atau gimana bilang ya? Atau mau langsung bilang ke pihak EO nya juga gapapa."

"Pasti. Tapi untuk saat ini aku puas dengan ide yang mbak Dewi ajukan tadi." Praba jujur mengatakannya bukan hanya untuk menenangkan Deswita semata.

Selama ini dia juga tidak tahu menahu dengan acara seperti ini kecuali tasyakuran di rumah. Namun sebelum bertemu pihak EO tadi, Deswita menjelaskan jika rangkaian acara tujuh bulanan cukup banyak. Dari acara dimandikan dengan kembang tujuh rupa, ritual pecah telur --yang ini dia belum nemu korelasinya apa, lalu berganti kain jarik tanpa jahitan hingga tujuh kali. Belum lagi acara lainnya. Itu sebabnya Deswita memakai jasa EO untuk mengurusnya.

"Ini anak pertama kalian, ponakan pertama mbak yang udah seperti cucu sendiri. Kudu sempurna semuanya." Itu yang Deswita ucapkan saat ia bertanya alasan mempersiapkan tujuh bulanan se prepare ini.

"Dek, makan sekalian ya?"

Praba yang tengah berpikir terkejut mendapat pertanyaan tiba-tiba Deswita yang berada di area dapur. Pikirannya seperti tidak berada di sini hingga apa yang kemudian Deswita bicarakan sama sekali tak ia mengerti.

"Kamu capek? Mau istirahat dulu?" Deswita menawarkan. Setelah keduanya menghabiskan makan malam bersama, memang Praba jelas terlihat kecapaian. "Atau mungkin ada yang mengganggu pikiranmu, Dek?"

Praba merespon cepat. Kepala perempuan itu lantas menggeleng dengan wajah yang sulit diartikan. "Mungkin kecapaian beneran, Mbak. Terus entah kenapa rasanya tuh kayak gak tenang, ganjel banget di sini sampe sesek." Menunjuk ke dadanya yang memang selama beberapa saat ia merasakan sesak yang tiba-tiba.

Deswita tak lantas merespon. Wanita itu memutar ulang apa yang ia dan Praba lalui seharian dan mencari kemungkinan adik iparnya mendengarkan sesuatu yang tidak mengenakkan. Belajar dari pengalaman, beberapa pegawai yang dulu menggosipkan Praba sudah mereka --tepatnya Yudhistira-- beri peringatan. Pun, Ratri, pegawai senior yang sudah lama bekerja dengan mereka mendapat peringatan tegas langsung dari Yudhistira. Deswita takut saat memilih kain yang akan mereka gunakan untuk acara nanti, secara gak sengaja Praba mendengar hal buruk lagi menyangkut dirinya.

"Semuanya baik-baik saja, Dek?" tanyanya hati-hati dengan jemari tangan memberikan pijatan pada telapak tangan Praba agar perempuan itu tenang. Persis seperti yang Yudhistira lakukan untuk menenangkan kecemasan yang tiba-tiba Praba rasakan saat berada di luar.

"Baik. Cuma gak tahu kenapa tadi kayak...Mbak pernah kan, tiba-tiba ngerasa sesek terus dada berdenyut nyeri tanpa alasan? Tadi tiba-tiba gitu. Terus pikiranku kayak...gak pada tempatnya," akunya jujur menatap Deswita yang menunggu jawabannya.

Kelana Merajut AsaWhere stories live. Discover now