dua puluh

528 54 15
                                    

Dua puluh


Dengan kebaya brokat berwarna powder blue, tak lupa kain jarik yang melilit indah di kakinya, Praba berjalan dituntun oleh Tiara menuju tempat di mana Yudhistira telah duduk di sana. Suara pemandu acara mengiringi satu persatu langkah kecil Praba yang berjalan dengan senyum tertahan menahan gugup yang kini ia rasakan.

Disaksikan banyak pasang mata yang menghadiri undangan tujuh bulanannya, yang itupun tak pernah ia sangka sebegini banyaknya, Praba lantas mendekat ke arah Yudhistira dengan susah payah sungkem di depan suaminya.

Tangan Yudhistira membantu Praba yang kini menatap dengan penuh keharuan kepada suaminya. Sungguh, hal seperti ini tak pernah terbayangkan olehnya. Merujuk kembali bagaimana hubungan mereka dulunya, dinginnya sikap Yudhistira seolah menolak kehadiran bayi mereka, hingga ia nekad melalukan empat bulanan tanpa sepengetahuan Yudhistira dan keluarga, tentu momen ini begitu mengharukan baginya.

Praba yakin, dulu, sewaktu ibunya mengandung dirinya dalam kondisi tak memungkinkan, tak ada acara demikian. Jadi, dengan ia masih hidup baik-baik saja sampai sekarang, terbersit dalam pikiran --bila Yudhistira masih sama acuhnya seperti di awal pernikahan-- tak akan melakukannya juga. Atau mungkin ia akan kembali ke panti asuhan mengadakannya dengan para anak-anak yang berasal sepertinya.

Namun, di hadapan semua orang yang menghadiri acaranya, kini ia bersimpuh di depan Yudhistira dengan tangis yang entah bagaimana keluar dengan sendirinya, meminta restu pada sang suami untuk kelancaran lahirannya nanti.

Dengan cepat Yudhistira mengangkatnya hingga lelaki itu merengkuh tubuhnya erat dengan tangis yang sama hebatnya.

"Harusnya mas yang minta maaf, harusnya mas pula yang berterimakasih karena kamu memberikan kesempatan ini pada, Mas," bisiknya di telinga Praba dengan tangis yang belum reda.

Sang pemandu acara tak melerai, acara sungkeman ini membawa keharuan bagi siapa yang melihatnya. Belum lagi saat kedua calon orang tua tersebut memohon doa juga maaf pada Deswita yang lebih dulu merengkuh keduanya sebelum berhasil bersimpuh di depannya.

Sama seperti Yudhistira, Deswita juga mengatakan hal serupa kepada Praba hingga buncahan bahagia seperti tak terbendung lagi di dadanya.

Beberapa kerabat ibu juga bapak datang menghadiri acara dan dengan wajah bahagia mereka memberikan restu juga doa-doa agar Praba diberikan kelancaran saat proses persalinan.

Bagi Praba, ini adalah momen bersejarah baginya, di mana semua orang memberikan doa yang dipanjatkan dengan ketulusan yang bisa ia rasakan. Sangat berbeda di mana saat pernikahannya dilangsungkan.

Senyum di bibir Praba semakin lebar tat kala rasa dingin menjalar dari bahu turun ke sela-sela kulitnya yang tertutup kain jarik juga ronce bunga melati yang menghiasi dada juga kepalanya.

Satu persatu para tetua menyiramkan air dari ujung kepala ke tubuhnya sebagai simbol penyucian lahir juga batinnya.

Dilanjutkan dengan acara pecah telur di mana telur ayam kampung yang sebelumnya diusap di dahi juga perut Praba kini diletakkan diantara jarik yang dikenakan Praba dengan jarik yang dibentangkan di depannya, kemudian dari arah atas dijatuhkan ke bawah dengan harapan proses persalinan berjalan lancar sebagaimana dengan mudahnya telur tersebut dipecahkan.

Tidak sampai disitu juga, janur yang sebelumnya sudah diikatkan di perut Praba lantas dipotong oleh Yudhistira dengan tujuan yang masih sama, yakni ikatan yang menyulitkan proses kelahiran terputus sebagaimana janur tersebut diputus.

Dikarenakan Sekar Waseso telah tiada, Deswita mengambil peran sebagai seorang nenek yang bertugas menangkap kelapa gading saat kelapa tersebut dijatuhkan dari atas antara jarik Praba dengan jarik penghalangnya. Setelah tertangkap, Deswita menyerahkan kelapa kepada Yudhistira agar juga memotong tali letrek dengan harapan ia dapat memotong halang rintang saat proses persalinan.

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang