dua puluh enam

531 51 13
                                    

Dua puluh enam.

"Konyol. Dia yang salah pesan dia pula yang maki-maki orang. Dasar manusia jadi-jadian!"

Praba terkekeh mendengar gerutuan terutama tatapan nyalang yang ditujukan pada pelanggan yang kini memaki-maki pelayan restoran padahal pelayan tersebut sudah menunduk-nunduk minta maaf. Sayangnya, entah ada masalah atau mungkin tengah ingin menunjukkan seberapa kuasanya si pelanggan sebagai manusia, dia tetap mempermalukan pelayan tersebut. Tak peduli begitu pelayan kembali ke belakang mendapat teguran dari atasan, atau bahkan jika ada orang iseng merekam lalu memviralkan akan ada banyak kekacauan juga kerugian yang di hadapi setiap individu yang mengais rupiah tak seberapa ini.

"Orang kaya baru kayaknya, Mas." Anggukan kepala menyetujui ucapannya lalu kembali memperhatikan kejadian yang belum juga usai.

Si pelanggan keukeuh ingin manager restoran tempat ini datang untuk meminta pertanggungjawaban. Padahal, pelayan itu sudah memohon-mohon agar diselesaikan di tempat dengan cepat.

"Kayaknya. Manusia ya, baru dikasih sedikit, sedikiiiit saja kekayaan lagaknya sudah jadi sang maharaja yang semua orang kudu tunduk di kakinya." Kepalanya mengidik ke depan pada pelanggan yang begitu pongah tat kala keinginannya sedari tadi terkabul. Sang manajer keluar. Entah apa negosiasi yang disepakati, keributan lantas berhenti dan pelanggan tadi kembali duduk di kursi.

"Mental miskin aja sebenarnya mereka." Praba tersenyum kecut menimpali. Tangannya mengaduk-aduk minuman di mana sedotan yang ia gigit ujungnya menyembunyikan komentar untuk kejadian yang baru saja menjadi pusat perhatian. "Merasa superior kali ya, Mas. Gak tahu kali ya, jika Tuhan berkehendak, dalam sekejap apa yang dia banggakan hilang, bersih tanpa sisa saat itu juga. Dikira nantinya hukum tabur tuai pergi tak menghampirinya."

"Manusia memang begitu kan? Pas susah minta diberikan kekayaan agar bisa menjadi ladang manfaat bagi orang sekitar, eh begitu dikasih lupa segalanya. Mengklaim jika itu sepenuhnya hasil jerih payahnya dan orang lain tak berhak menikmati usahanya. Lupa, kalau tanpa kehendak Tuhan, mau sampai jungkir balik kepala menjadi kaki masih juga sama sulitnya."

Praba mengangguk setuju. Bibirnya tertarik lebar ke samping menikmati momen di mana ia dan Arsya pada akhirnya bisa bicara berdua dengan bahasan yang sefrekuensi dengannya.

Dulu, mungkin karena Arsya anak tertua di panti tempat mereka dibesarkan, lelaki itu memposisikan dirinya sebagai pelindung juga pemberi saran yang bijaksana. Arsya menempatkan diri tepat sesuai porsinya. Dan dari sana, ia senang sekali bila duduk berdua menatap bintang yang memenuhi langit malam membahas topik asal namun berbobot dan memberi banyak pelajaran kehidupan.

Entah bagaimana, yang pasti, berbicara dengan Arsya akan semenyenangkan itu baginya. Pikiran luas yang lelaki itu keluarkan untuk setiap permasalahan, sikap tenang, lalu tatapan tanpa penghakiman membuat orang-orang lebih merasa segan dengan Arsya meski lelaki itu dari panti asuhan.

Kadang, pikiran liar Praba menggaungkan bila sebenarnya Arsya adalah salah satu pewaris tahta di keluarga kaya raya. Namun, karena ada perebutan tahta dan harta, Arsya bayi dibuang untuk tujuan disembunyikan dari musuh agar selamat hingga nantinya mereka akan menjemput Arsya saat situasi aman sepenuhnya.

Namun sayangnya itu hanya sebuah pikirannya saja. Faktanya hingga hari ini -- yang ia ketahui-- Arsya sama sekali belum bertemu dengan keluarganya, sama seperti Irvin yang malah menciptakan keluarganya sendiri alih-alih berharap tanpa pasti.

"Ngeri ya. Manusia yang memiliki kekuasaan --yang secuil itu-- berlaku melampaui batas, tapi di dirinya berlagak tak melakukan apa-apa. Atau mencoba denial? Kan kalau kita buat kesalahan, sedikit saja, pasti rasanya gak nyaman di hati, ganjel." Praba memperlihatkan ujung kukunya yang ditanggapi gelengan kecil Arsya.

Kelana Merajut AsaWhere stories live. Discover now