dua puluh satu

511 63 24
                                    

Dua puluh satu


"Udah datang semua ya, Mas. Lengkap, gak ada yang failed." Seraya mengangsurkan laporan yang ia ambil dari gudang saat pengecekan barang datang.

"Udah clear semua?" tanyanya kembali mengecek satu persatu barang yang sudah dicentang.

Tirta mengangguk cepat. Lelaki itu mengambil duduk di depan Yudhistira yang wajahnya jauh lebih mendung dua mingguan ini. Ratri juga melapor, bila Yudhistira kerap kali minta penjelasan berulang-ulang seolah pikirannya sedang tidak fokus pada pekerjaan.

"Masalahnya selesaiin dulu kali, Mas. Dipendem terus bukannya kelar malah tambah besar ntar."

Dia sudah menebak bila apa yang tengah dipusingkan oleh Yudhistira tentu tak jauh dari permasalahan rumah tangga. Tapi...kenapa begitu lama? Bukannya seharusnya saat ini mereka akur-akur saja? Masa setelah tasyakuran besar-besaran malah timbul masalah besar.

"Jangan-jangan acara kemaren habis banyak dana terus kamu syok gak nyangka gitu, Mas?" tebaknya asal disertai kekehan pelan. Karena toh sebenarnya tak mungkin Yudhistira mengalami hal demikian. Apalah arti mengundang seratus orang untuk acara tujuh bulanan bagi Yudhistira seorang.

"Ngaco! Mulutnya..." bantah Yudhistira cepat dengan wajah menahan geram tak terima dibilang kekurangan.

Tawa Tirta meledak saat itu juga. Lelaki itu bahkan sampai terbatuk-batuk saking kerasnya tertawa.

"Lha terus apa? Mukamu ituloh, gak mencerminkan seorang calon ayah yang baru aja ngadain tujuh bulanan. Sepet banget. Tau gak, itu Indri sampai gak brani laporan karena mukamu seram."

Tak ada sanggahan, pun wajah adik ibunya itu terkesan semakin suram.

"Ini apalagi sih, Mas? Kalau bunda tahu dari luar habis mukamu kena tamparan kalau misal kak Praba kenapa-napa." Akhirnya dengan nada lelah Tirta meminta penjelasan. Bukannya mau mencampuri urusan rumah tangga orang, namun jika dibiarkan pekerjaan pasti juga keteteran karena Yudhistira jelas sekali tak fokus dan sering emosian.

"Biasa, masalah Rida," jawab Yudhistira pada akhirnya usai menghembuskan napas kasar. Lelaki itu bahkan memukul gulungan kertas cukup keras di atas meja hingga membuat Tirta berjengit kaget dibuatnya.

"Mas! Kira-kira lah," serunya protes mengelus dadanya reflek. "Wah, kalau ini pasti mas Didi yang memicu," todongnya langsung.

"Sembarangan!" elak Yudhistira tak terima. Beneran deh, sampai sekarang Yudhistira masih bingung yang Praba permasalahkan tentang Rida itu apa? Dilihat dari sudut pandang manapun, Rida juga tak akan mau kembali padanya, dan dia sendiri, pun, sudah bertekad akan menjalani biduk rumah tangga yang sewajarnya dengan Praba. Mengesampingkan cinta dan sejenisnya, karena yakin kenyamanan yang dia rasakan saat bersama Praba, sudah cukup.

"Lha terus apa?" Rupanya Tirta masih juga penasaran.

"Kamu tahu, Ta, ngadepin Praba tuh gak semudah yang dibayangkan. Dia itu..." Pikirannya mencari kata yang tepat menggambarkan sosok Praba yang menurutnya penuh misteri. Seolah ada labirin yang musti ia lewati agar bisa menuju inti dari pikiran yang Praba miliki. "Dia itu rumit, misterius, dan...tak tertebak. Diamnya dia juga tak bisa dipastikan penolakan atau mengiyakan. Ucapannya kadang tak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Intinya dia itu..."

"Masih membatasi dirinya dengan mas Didi."

Dan...benar.

Rumitnya Praba adalah salah satu pertanda jika perempuan itu tak sepenuhnya memperlihatkan diri kepadanya. Masih ada batasan yang Praba berikan dalam pernikahan mereka. Dan itu malah menghambat komunikasi mereka.

Kelana Merajut AsaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ