lima belas

702 57 3
                                    

Lima belas

"Aruna?" Anggukan pelan Tirta mengiyakan pertanyaannya. Bukan, dia bukanlah melupakan sosok yang namanya disebutkan, hanya saja mendengar kita akan bergantung ke seseorang yang dulunya pernah dikecewakan itu...memalukan.

Benar kan?

"Kenapa harus Aruna? Bukannya masih banyak supplier di luar sana yang sama bagusnya? Kenapa kamu kepikiran Aruna?"

Tirta terlihat berpikir keras. Lelaki itu lants mendekat lalu berusaha menjelaskan tercetusnya ide tersebut ke Yudhistira.

"Gini loh, Mas, inget acara pernikahan anaknya pak Cokro?" Cukup lama Yudhistira terdiam sebelum akhirnya mengangguk usai teringat akan undangan yang bertepatan dengan acara selapanan pernikahannya dengan Praba. "Nah, itu aku ketemu dia disana. Awalnya basa-basi aja, terus gak lama Aruna bilang kalau dia bekerja di Jarik.id. Jadi, tadi tuh langsung kepikiran dia."

"Aruna?"

"Kalau mas Didi masih gak enak juga kita bisa nyari yang lain. Tapi kan, kita dalam kondisi kepepet gituloh. Pikirku kalau kita sudah mengenal orang dalam lah istilahnya, gampang melobi mereka untuk kerja sama."

Dan perkataan Yudhistira pagi tadi masih juga terngiang-ngiang di kepalanya. Aruna... Seperti katanya di awal tadi, bukankah akan sangat tak tahu diri bila kita meminta bantuan ke orang yang telah kita sakiti? Meskipun kejadian itu sudah lama terjadi, tetap saja ia malu untuk mengutarakannya.

"Mas tenang aja, aku liat Aruna lebih dewasa, malah dia sendiri yang langsung nyapa padahal awalnya aku ragu kalau itu dia. Dia juga tidak menyinggung masa lalu, hanya tanya apakah mas Didi sudah menikah apa masih sendiri, itu aja."

"Dan kamu jawab?"

"Ya sudah lah, itu kak Praba segede itu malah sedang ngandung anakmu apa! Jangan mengelak ya!" todongnya galak mengingat apa yang dilakukan Yudhistira sebelumnya.

"Enggak. Siapa yang ngelak coba?"

"Ya mungkin saja mas Didi pingin dibilang single terus balikan lagi sama dia." Tirta mengatakannya dengan nada datar penuh peringatan, sedangkan Yudhistira hanya bisa menghela napas kasar.

"Ngawur! Pikiranmu kejauhan, Ta," bantahnya tak terima. Memangnya dia apa sampai bisa melupakan istrinya?

"Ya siapa tahu, kan? Apalagi dulu eyang begitu gencar menolak hubungan kalian. Siapa tahu mas Didi masih punya rasa itu terus pas tahu Aruna masih single ngaku gitu juga."

"Ngaco! Kalau kamu mikirnya gitu, ngapain bilang tentang dia, Dodol?"

"Ya kan konteksnya tentang melobi supplier, bukan melobi mantan buat balikan. Ingat, mengaku masih perjaka padahal sudah berbini bisa jatuh talak saat itu juga!"

Percakapan itu cukup mengganggunya, bukan karena statusnya yang sekarang, namun kenyataan bila sampai saat ini Aruna masih sendiri --terlepas mungkin sudah ada pasangan namun belum dipublikasikan-- rasa bersalah tetap menggerayanginya. Tentu ini bukan alasan Aruna mantannya belaka. Namun, apa yang terjadi di masa lalu hingga dia yang biasanya masih berhubungan baik dengan orang di masa lalunya lah yang membuat kepikiran sampai sejauh ini.

Dalam keheningan, pikirannya mendadak berlari jauh di mana keduanya pertama kali bertemu. Aruna yang begitu cerah hingga membuat orang-orang di sekitarnya silau dengan apa yang dimiliki gadis itu. Kemampuannya mengerti akan banyak hal --bahkan saat itu katanya pertama kali gadis itu ikut acara seperti ini-- bisa menjelaskan dengan detile jenis-jenis juga kegunaan serta musim yang tepat dalam menggunakan sebuah bahan kain.

Disitulah keterpukauannya akan sosok gadis pemilik dimple di pipi kanannya itu dimulai. Dia yang merasa sejak kecil dikelilingi pengetahuan akan jenis juga nama-nama kain, untuk kali pertama tertarik akan hal itu hanya karena gadis berparas ayu tersebut.

Kelana Merajut AsaWhere stories live. Discover now