enam belas

610 63 11
                                    

Enam belas

"Tadi mbak Dewi jadi kesini?"

Praba yang diam-diam mengendus aroma kaos yang baru saja dikenakan Yudhistira tergagap. Perempuan itu menoleh ke belakang dan menghela napas panjang saat suaminya masih membelakangi dirinya.

"Jadi. Pulang setelah zuhur. Katanya ada masalah di gerai, ya?" Cepat-cepat ia letakkan kaos Yudhistira ke keranjang kotor sebelum lelaki itu menyadari kegiatan joroknya.

Yups, salah satu hal yang teramat --mungkin menjijikkan-- tak pantas dilakukan, namun ia benar-benar akan puas melakukannya.

Deheman suara Yudhistira yang mengiyakan pertanyaannya membuat Praba menoleh. Matanya mengamati Yudhistira yang masih terdiam sejak lelaki itu pulang.

Apa masalahnya begitu besar?

Pertanyaan itu tertahan di tenggorokannya. Dia belum seberani itu hingga bebas menanyakan persoalan yang tengah di hadapi Yudhistira.

"Mas mau makan sekarang?" Mungkin lebih baik seperti ini. Dulu, Sekar Waseso pernah bilang jika salah satu obat untuk menenangkan Yudhistira adalah makanan. Jadi, sembari menahan rasa mualnya, ia membuatkan makanan kesukaan Yudhistira setelah Irvin meninggalkan kediaman kediaman mereka.

"Bareng kamu?" tanya Yudhistira yang kini sepenuhnya menghadapnya. Lelaki itu terlihat begitu banyak pikiran yang tergambar jelas di mata sayunya.

Praba menggeleng, perempuan itu sudah lebih dulu makan bersama Irvin saat lelaki itu mengeluh makan sendirian sedangkan dia hanya menonton. "Enggak, aku sudah makan lebih dulu. Mau aku siapin sekarang?"

"Enggak usah. Aku mau ke kamar ibu sebentar."

Belum sempat Praba menanggapi, Yudhistira lebih dulu pergi tanpa menoleh lagi ke arahnya. Bayangan akan lelaki itu menikmati ayam balado buatannya yang susah payah ia masakkan sirna begitu saja. Harapan akan mendapatkan senyum dan juga mungkin ucapan terimakasih(?) luntur tergantikan setitik rasa kecewa yang perlahan menguasai hatinya.

Praba menatap lurus pintu yang tertutup cukup keras tadi sebelum membuang napasnya kasar.

Mungkin memang masalahnya benar-benar serius. Batinnya mencoba menenangkan.

Sayangnya, semencoba apapun dia untuk lebih mengerti kondisi yang mungkin tengah di hadapi Yudhistira, perasaan kecewa itu lambat laun menyakitinya. Air matanya menetes tanpa ia pinta.

"Ckck. Gini aja aku nangis. Cengeng banget," gumamnya pelan sembari menghapus air matanya kasar.

Kakinya melangkah keluar. Menapaki dinginnya tekel beton yang menghubungkan ke rumah belakang --tempatnya dulu tinggal-- untuk menenangkan diri. Tak lupa ia membawa cemilan yang tadi Irvin bawakan. Dia tidak tahu sampai kapan perasaannya akan kembali seperti semula, pun tidak ada simbok yang bisa dimintai tolong membuatnya lebih berjaga-jaga.

Memasuki rumah yang selalu menawarkan kehangatan --meski hanya dia sendirian-- Praba mulai menempati tempatnya biasa mencurahkan semua perasaannya. Ia goreskan tinta ke lembar putih bersih tersebut, lalu membentuk pola dari yang awalnya berupa titik menjadi garis hingga menjadi sebuah pola indah. Tak lupa ia menambahkan detile di setiap sisinya. Tangannya dengan cekatan memberikan kesan hidup untuk desain dress malam yang memiliki detile di bagian dada hingga pinggang.

Pola pinggang ke bawah yang lebih lebar juga bervolume membuat senyum Praba merekah. Tak lupa perempuan itu juga mulai sibuk membuat pattern untuk pola tersebut.

Setiap pengerjaannya, perempuan itu begitu fokus, pun dengan tangan kirinya yang sesekali menjejalkan biskuit perisa coklat ke dalam mulutnya.

Melihat hasil karyanya, senyum puas tak luput tercetak di bibirnya. Yups, inilah cara dia meluapkan segala emosi yang jarang bisa ia ungkapkan secara terang-terangan.

Kelana Merajut AsaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt