Hujan.

8 5 1
                                    

Selamat menikmati
perjalanan Juni

*

*

*


Hari ini sore lebih terasa menenangkan, walau hujan turun membuka bulan Desember dengan dingin yang menyenangkan. Bapak saat ini sedang membaca koran di teras sembari meminum wedang jahe buatan Ibu dengan resep cinta yang dapat menghangatkan perutnya dan tubuhnya yang sedang sakit itu, bapak hari ini memang tidak masuk kerja hanya karena tubuhnya yang sudah kelelahan.

“Pak pak.” Panggil seorang wanita tua seumuran bapak yang telah membeli bahan makanan di supermarket yang keberadaannya berdekatan dengan pabrik sepatu, Bu Ema tak lupa dengan membawa payung pada saat hujan seperti ini. Wanita tua itu bernama Bu Ema, tetangga Juni yang aktif dengan berita di sekitarnya alias suka dengan gosip. Bu Ema langsung menghampiri Bapak menuju teras rumah karena ada informasi yang ingin ia berikan.

“Ada apa Bu Ema?” Bapak bertanya kepada Bu Ema yang memanggilnya dengan rasa penasaran.

“Ini ada kabar penting pak, penting buanget ini.” Ketika Bu Ema mengatakan hal itu Bapak cukup penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Bu Ema pada Bapak. Apakah hal itu sangat penting untuk bapak dengar? Atau hanya sekedar gosip yang tidak berguna?

“Apa memangnya Bu Ema kok kayak kabar penting gitu?”

“Anak bapak itu loh Januar lagi berantem sama rekan kerjanya di depan pabrik sepatunya, banyak orang yang bergerombol di sana, mukanya bonyok pak.”

Mendengar hal itu bapak membungkam mulutnya rapat-rapat. Nyatanya hal ini sangat penting untuk Bapak tentang Anaknya Januar. Bapak sebenarnya sedikit tidak percaya bahwa Januar melakukan hal itu lagi karena Januar sudah mulai dewasa, namun melihat ekspresi Bu Ema seperti terkejut atas kejadian yang ia lihat membuat Bapak percaya bahwa anaknya melakukan hal itu. Tetap saja, Bapak tak seratus persen percaya karena tak ada bukti yang valid dari Bu Ema tentang anaknya yang berantem dengan rekan kerjanya. Tetapi hal itu membuat Bapak selalu terpikir tentang anak sulungnya yang pemberani itu.

“Ternyata sudah besar juga tetap suka berantem ya pak, heran saya sama anak jaman sekarang.” Januar memang dulu senang sekali berantem dengan teman bahkan dengan tetangganya sendiri, di kampung yang saat ini ia tinggali Januar terkenal sebagai lelaki pemberani dan senang sekali berantem, satu kampung tahu bahwa Januar adalah anak yang suka berantem dan tawuran dengan remaja kampung sebelah. Berantem sudah seperti hobi bagi Januar, pulang sekolah pasti akan ada lebam dan memar di wajahnya yang cukup tampan dengan rambut berantakan itu.

Sekali lagi Bapak hanya membungkam mulutnya tak bisa berkata apa-apa lagi seakan-akan mulutmu terkunci rapat dengan kenyataan yang membuat Bapak terkejut sekaligus kecewa dan malu tentunya atas perbuatan anaknya yang tidak memiliki faedah itu bagi keluarga.

“Belum berubah ya pak anaknya? Masih suka berantem ya pak?” tanya Bu Ema yang lagi-lagi membuat Bapak membungkam mulutnya itu dengan sangat rapat dengan tatapan kecewa ataa pertanyaan yang hanya melukai dirinya.

“ya sudah pak, saya pergi duluan ya.” Bu Ema membuka payungnya kembali lalu pergi dari hadapan bapak setelah memberikan informasi yang membuat Bapak terkejut sekaligus kecewa.

Untuk ke sekian kalinya bapak masih terdiam menatap ke arah depan dengan tatapan yang kosong. Ia tetap berusaha untuk berpikir bahwa Januar tidak melakukan lagi hal yang membuat Bapak malu seperti berantem, karena berantem tak memiliki manfaat bagi keluarga, berantem hanya bisa memalukan keluarga.

Tak lama kemudian putri kesayangannya pulang ke rumah dengan seorang lelaki yang Bapak tak tahu namanya. Juni pulang bersama Dio dengan berteduh di bawah payung agar terhindar dari tetesan hujan yang dapat membasahi tubuhnya. Mereka berhenti tepat di depan pagar bambu buatan Bapak untuk membatasi area rumahnya.

Musim Sedih Di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang