BAB 01

20.3K 819 14
                                    

"Besok pagi, rumah Papa dan Mama akan diperiksa kejaksaan untuk mencari bukti."

"Ada dugaan penyuapan dan penerimaan dana ilegal sejumlah proyek pemerintah."

"Akan semakin berat posisi Mama dan Papa, kalau ada kasus-kasus lain ditambahkan."

"Hmm." Hanya dehaman kecil diloloskannya guna menanggapi pemberitahuan sang adik.

"Ckck."

Sarasa sudah pasti tidak suka akan reaksi yang dirinya tunjukkan, sehingga luncurkan decakan keras dalam nada yang cukup sinis.

Saat dipusatkan atensi ke adik bungsunya itu, tatapan Sarasa amat tajam padanya. Sorot marah yang bercampur kekesalan.

"Kenapa?" Diputuskan bertanya, upayanya untuk membuat Sarasa mau bicara.

Jika punya uneg-uneg, bukankah patut bagi sang adik keluarkan? Ia pasti akan menerima keluhan apa pun yang akan Sarasa adukan.

Sejak penangkapan orangtua mereka dalam Operasi Tangkap Tangan, tiga minggu lalu, Sarasa palinglah cemas daripada dirinya.

Sampai hari ini, saudari bungsunya itu juga yang paling aktif mengikuti perkembangan kasus orangtua mereka, termasuk memberikan informasi penting untuk ia ketahui.

"Kak Sayana malah nanya kenapa? Apa Kak Sayana tidak punya pertanyaan lain?"

"Aku harus bertanya apa?"

Sarasa kembali berdecak, kali ini disertai aksi menggebrak meja makan. Mungkin sudah begitu jengkel dengan reaksi darinya.

Ketidaksopanan sang adik bungsu, tentunya tak akan disukai. Jadi, diberikan peringatan segera lewat tatapan nyalangnya.

Namun, tampaknya Sarasa tak gentar. Malah menantang dengan sorot netra lebih tajam.

Baiklah, kesabarannya ada batas. Jika sang adik tak bisa menjaga rasa hormat padanya, maka ia juga akan melakukan hal yang sama.

"Menurutmu, aku harus berbuat apa? Aku harus mencegah pihak kejaksaan memeriksa rumah orangtua kita besok pagi?"

"Aku tidak ingin di penjara seperti Mama dan Papa, jadi aku tidak akan berbuat apa pun yang membuat kejaksaan menangkapku."

"Kalau kamu memang pemberani, kamu saja berbuat sesuatu yang bisa menyelamatkan Papa dan Mama. Misalnya lenyapkan semua bukti yang ada di rumah orangtua kita."

Sayana sengaja menantang Sarasa. Ia tidak mau hanya menerima provokasi sepihak dari sang adik, seakan ia patut disalahkan.

Sayang, kalimat-kalimat pedas yang baru saja dilontarka, tak memberikan efek takut pada Sarasa. Saudari bungsunya itu malah kian menunjukkan kesinisan lewat decakan.

"Kamu ingin bilang apa lagi padaku? Katakan sekarang, sebelum aku menyuruh kamu pergi dari sini, Dik." Sayana memperingatkan.

Sungguh ingin diakhiri pertemuannya dengan Sarasa segera, sebelum konflik di antara mereka bertambah besar dan membuat persaudaraan jadi merenggang.

Seharusnya, saat badai masalah menyerang keluarga mereka, kekompakan serta juga kesatuan harusnya dijaga. Namun, mereka justru semakin sering berdebat.

"Apa Kak Sayana akan lepas tangan? Yang menyebabkan Mama dan Papa tertangkap adalah keluarga mantan suami Kak Sayana."

"Harusnya Kak Sayana mengusahakan kedua orangtua kita ringan dihukum karena bukan cuma Papa dan Mama yang dapat suap."

"Beberapa kader dan petinggi partai juga ikut, tapi mereka cuci tangan supaya mereka tidak diseret. Mama dan Papa dijadikan kambing hitam. Apa menurut Kak Sayana adil?"

"Mereka yang terlibat dalam perkara suap juga wajib dihukum, tidak cuma Papa dan Mama."

Sayana sudah memasang telinganya dengan baik, sehingga bisa menangkap setiap kata yang dilontarkan oleh sang adik.

Sayana masih berusaha mencerna semua ucapan sang adik, saat Sarasa beranjak kasar dari kursi begitu saja dengan perasaan masih marah.

Tak akan dicegah saudari bungsunya untuk pergi dari rumahnya.

Kepala mendadak pening. Dan pasti selalu berdenyut, setiap kali memikirkan kasus korupsi yang tengah menjerat kedua orangtuanya.

Sarasa benar, ia harusnya memikirkan cara untuk menyelamatkan ayah dan ibu mereka, tak pasrah membiarkan terus bergulir dan menguntungkan beberapa pihak di dalam partai.

Drrttt ....

Drrttt ....

Drrttt ....

Ponselnya yang berdering nyaring, cukup mengagetkan.

Panggilan masuk dari sang sahabat, Regina Smith.

Namun bukan kawan baiknya yang akan berbicara, melainkan Assena Kesnapati, buah hati kesayangannya berusia empat tahun.

Senyuman lebar diukir di wajah, sebelum memulai sesi video call bersama sang putra.

"Halooo, Mamahhh!"

"Hai, Assena Sayang!" Sayana berseru kencang dalam nada bergembira.

Atensi secara keseluruhan sudah terpusat ke layar, memandang buah hatinya yang memiliki paras sangat mirip dengan mantan suaminya, Atmaja Wedasana.

.................................

Gimana? Gimana? Lanjut nggak nih? Komen dan vote dulu yokyok.

Mantan Suami AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang