"Eum, Jiro. Gue ganggu nggak?" Jiro mengerjap mendengar suara Ashana, lalu menoleh dan menatap Kalila yang bingung.

"Enggak...," balas Jiro dengan pelan.

"Gue bisa minta tolong enggak?"

Jiro kembali menghadap lurus ke depan, membelakangi Kalila yang sedang memakan camilan. "Minta tolong apa?"

"Gue em..., ketabrak mobil...."

Jiro sontak berdiri. "Kena tabrak? Lo di mana sekarang?"

"Ah, enggak parah, kok, tapi sekarang di rumah sakit, sih. Tadi gue minta tolong ke temen gue, tapi temen gue telat datangnya. Jadi, maaf ya, yang ada di pikiran gue cuma lo. Lo bisa datang ke sini?"

"Ah, iya. Di rumah sakit mana?"

Alis Kalila nyaris menyatu. Dia bisa mendengar suara cewek, tetapi entah siapa. Perkataannya juga kurang jelas. Namun, Kalila langsung terbayang wajah Ashana. Karena itu juga, wajah Kalila langsung muram. Kenapa juga Jiro terlihat panik? Apa Ashana sedang terluka parah?

Ah, sungguh. Kalila berusaha untuk tidak cemburu buta. Toh, wajar saja jika Jiro khawatir karena temannya baru saja kena tabrak.

Setelah selesai berteleponan dengan Ashana, Jiro mendekat pada Kalila yang duduk murung di tempat tidur. Jiro duduk di tepi dan memegang pipi Kalila yang wajahnya memperlihatkan ekspresi tak senang.

"Kayaknya lo udah duga gue ditelepon siapa, ya?" tanya Jiro. "Ashana sendirian. Orang tuanya sibuk. Temennya juga telat datang. Jadi, gue ke sana dulu. Mau ikut bareg gue?"

Kalila membuang muka. "Enggak usah. "

"Serius enggak mau ikut?"

Kalila mengangguk dengan wajah kesal. "Enggak usah. Beneran. Enggak apa, kok," katanya, meski ekspresinya tidak mengartikan bahwa dia benar tak apa-apa.

Namun, Jiro malah berdiri dan menjauh setelah mencium puncak kepala Kalila. Bukannya memaksa Kalila untuk ikut bersamanya.

"Oke. Gue pergi dulu, ya? Tunggu di sini. Bentar, kok. Lo juga udah gue kasih lihat password dan ngasih kunci pintunya, kan?" Jiro bicara sambil membuka lemari untuk mengambil pakaian baru. Cowok itu lalu keluar dari kamar. "Habis ganti baju gue langsung pergi. Soalnya buru-buru banget."

Jiro menutup pintu kamar dan kamar itu kini hanya ada suara tembakan pistol dari film yang masih berputar. Ah, Kalila sama sekali tak tahu jalan ceritanya. Dia mengambil remote dan mengulangnya dari awal. Bibirnya dia gigit kuat-kuat. Belakangan ini dia cengeng jika cemburu. Kali ini, dia berhasil meredam cemburunya karena akhirnya bisa terbawa dengan alur film yang membuatnya tertawa.

Setelah film selesai, Kalila langsung murung lagi. Camilan yang Jiro siapkan sudah habis dimakan Kalila sendirian. Kalila menjatuhkan diri ke tempat tidur, lalu memejamkan mata. Dia menghela napas panjang lalu berdiri dan keluar dari kamar itu setelah mematikan televisi.

Saat Kalila kembali ke kamar karena selesai mengelilingi rumah Jiro untuk mencari kesibukan, ponselnya yang ada di dalam tas berbunyi. Dia mengambil tasnya di sofa kamar, lalu menerima panggilan dari Jiro. Entah apa yang akan Jiro katakan, tetapi perasaan Kalila sudah tidak enak.

"Halo, Kak?"

"Kal, gue pulang agak malam, kayaknya. Mumpung ini masih sore, lo pulang langsung aja, ya, ke rumah? Nanti Ibu nanya-nanya gue disaat kita enggak bareng gimana?"

"Pulang malem? Kira-kira jam berapa? Enggak bisa gue tungguin aja, Kak?"

"Enggak. Ini. Ashana harus pakai gips—"

Ruang dan WaktuWhere stories live. Discover now