Kalila menurunkan sedikit tubuhnya, lalu menaikkan tangan kirinya di atas pinggang Jiro, memeluknya dengan perlahan. Dada Jiro adalah tempat favorit Kalila untuk bersandar. "Temenin gue sampai gue tidur, boleh?"

Jiro mengangguk. "Sampai subuh juga boleh."

"Apa Kak Jiro enggak takut kalau Kak Jiro keluar kamar terus ada yang lihat? Atau misal Kak Jiro telat bangun?"

"Enggak takut." Kalila mendongak setelah mendengar Jiro menjawab demikian. "Karena gue tahu kebiasaan orang rumah bangun jam berapa. Gue juga bisa bangun di waktu yang gue pengin. Misalnya gue mau bangun jam 4 subuh, cukup gue bilang ini sebelum tidur, bangun jam empat subuh. Berulang kali."

"Waaah, gue juga mau coba!"

Jiro tersenyum miring. "Nah. Lo udah tahu cata gue bangun, kan? Kasih gue imbalan, dong."

Kalila mengernyit. "Imbalan?"

"Misalnya, ciuman?"

Kalila mendelik tajam. "Enggak mau!"

Namun, Kalila tidak bisa menolak saat Jiro mendaratkan bibirnya di atas bibir Kalila tanpa permisi dan mereka berciuman cukup lama sampai Kalila tertidur karena rasa kantuk yang tak bisa dia hindari.

***

Kalila menggenggam erat tangan Jiro saat mereka berdiri di halaman kecil sebuah rumah minimalis bertingkat dua yang terletak di perumahan elit. Kalila masih mengenakan seragam sekolahnya, pun dengan Jiro, karena Jiro langsung membawa Kalila ke sini setelah pulang dari sekolah. Katanya, ada yang ingin cowok itu tunjukkan dan ternyata sebuah rumah. "Ini ... rumah siapa, Kak?"

"Coba tebak?" Jiro menoleh dan tersenyum. "Rumah siapa?"

Awalnya Kalila tak bisa menebak, tetapi melihat bagaimana Jiro tersenyum penuh arti membuat Kalila mendapatkan sebuah tebakan yang paling memungkinkan. Dia pun menoleh pada Jiro. "Rumah ... Kak Jiro?"

"Tuh, tahu."

Kalila membelalak. "Serius? Kok bisa?"

"Pemberian dari Nenek waktu umur gue 17 tahun." Jiro mendekatkan telunjuk ke bibirnya sendiri seraya tersenyum miring. "Ssst. Jangan bilang siapa-siapa, ya?"

Kalila mengerjap. "Nenek?!"

Jiro mengangguk. Cowok itu menarik Kalila menuju teras yang terdapat dua kursi kayu dan meja kecil di tengah-tengahnya. Jiro mengambil kunci di dalam tas cowok itu. Kalila melihat sekeliling dengan takjub. Dia tak pernah mendengar cerita apa pun tentang Nenek yang menghadiahkan properti. Bahkan hadiah-hadiah seperti mobil maupun motor, tak ada satu orang pun yang mendapatkannya dari Nenek. Nenek terkenal dengan sikapnya yang tegas dan tak memanjakan para cucu dengan hadiah-hadiah mahal. Sementara Kakek selalu bergantung pada apa pun pilihan Nenek. Kalila menyadari itu dari dulu bahwa Nenek lebih mendominasi di rumah sementara Kakek terkesan lempeng. Mungkin karena Nenek ada dalam garis keturunan orang kaya. Di usia sekarang, Kakek bahkan lebih sering duduk di kursi goyang sembari membaca koran dengan kacamata yang selalu bertengger di hidung mancungnya, menikmati masa tua dengan nyaman. Sementara Nenek masih sering keluar masuk negeri karena tak bisa tenang jika tidak bekerja. Katanya, dari dulu Nenek adalah seorang workaholic.

"Ayo, masuk." Jiro menarik pelan tangan Kalila setelah mereka membuka sepatu masing-masing. "Gue jarang ke sini, terakhir gue bersihin kemarin. Nah, lihat-lihat aja sepuas lo. Kecuali pintu yang enggak bisa dibuka."

Kalila melihat sekelilingnya. Perabotan rumah ini lengkap. Sofa empuk. Lukisan-lukisan seperti di museum yang menggantung di dinding ruang tamu. Kalila melepaskan genggamannya dari Jiro. Dia berlari menyusuri ruang demi ruang. Terakhir, dia menaiki tangga dengan buru-buru dan langsung memasuki kamar luas yang pintunya sedikit terbuka karena langsung dia tebak bahwa kamar itu merupakan kamar Jiro. Ada sebuah televisi berukuran 100 inci yang membuat Kalila membelalak. Televisi itu lebih besar dari televisi yang ada di rumah. Sama besarnya dengan televisi di ruang keluarga Nenek yang luas. Untuk ukuran kamar ini, pasti menyenangkan menonton film dan pasti ada atmosfer seperti menonton di bioskop.

Ruang dan WaktuWhere stories live. Discover now