"Lo ngapain di situ? Malah lo yang kayak robot, enggak gerak dari tadi." Kala muncul. Cowok itu bersandar di pilar, bersedekap sambil berdecak pelan. Kalila bisa mendengar suara di sekelilingnya sejak tadi karena video dari media sosial yang dia putar keras berhenti secara otomatis. "Kal..., lo kenapa?"

Kalila menggigit bibir. Kenapa dia ingin menangis saat ditanya seperti itu?

"Kalila?" Kala menarik bahu Kalila dan membuat cewek itu menghadap ke arahnya. Kala menaikkan alis dan membelalak, lalu bertanya dengan suara keras. "Lo nangis? Siapa yang udah buat lo nangis?"

"Gue nggak nangis!" bentak Kalila, berbisik. "Kelilipan debu. Apa lo nggak lihat tadi gue kedip-kedip mata?"

"Lihat, sih." Kala mengusap pipi Kalila yang terdapat air mata di sana. Kalila langsung menepis tangan cowok itu. Dia masih saja bersikap sembarangan. "Apa yang bikin lo nangis itu ... Kak Jiro?"

Kalila membeku. Kala mungkin melihat situasi tadi, tetapi bagaimana pandangan Kala tentang Kalila yang menangis karena melihat Jiro dengan cewek lain?

"G—gue sedih aja Kak Jiro pulang bareng cewek lain dan enggak anterin gue pulang!" seru Kalila.

"Sampai nangis?" Kala menaruh tangannya di puncak kepala Kalila, lalu menunduk pelan. "Apa lo adik yang cengeng?"

"Terserah apa kata lo tentang gue, lah." Kalila menepis tangan Kala dan segera melangkah buru-buru, meninggalkan tempat itu sebelum dia membuat Kala curiga. "Pulang sana! Gue juga mau pulang!"

***

Jiro beruntung. Tak ada mendung apalagi hujan sehingga dia bisa melihat matahari yang terbenam indah bersama Ashana.  Mereka duduk di hamparan pasir. Membiarkan seragam sekolah mereka kotor. Seragam di sekolah berganti tiap harinya sehingga mereka tak perlu khawatir akan hal itu.

Pantai adalah tempat Jiro melarikan diri saat masih kecil. Kalila bahkan belum dia ajak ke tempat ini karena semenjak menyukai Kalila, Jiro sudah tidak memerlukan tempat pelariannya lagi. Dulu, saat dia masih membenci Kalila, mana mungkin dia berpikir untuk mengajak penyebab kekacauan mental masa kecilnya.

Jiro merasa sedikit bersalah karena Kalila bukan perempuan pertama yang dia ajak ke sini, melainkan Ashana. Namun, Jiro berjanji akan membawa Kalila memandang matahari terbenam yang lebih indah dari ini. Bukan hanya beberapa jam, tetapi Jiro akan membawa Kalila sampai bermalam. Dia akan membawa Kalila tanpa pamit agar semua orang di rumah heboh dan mencari Kalila. Sekali-kali dia ingin mengerjai orang rumah. Tanpa sadar Jiro tersenyum lebar membayangkan betapa menariknya hal belum terjadi yang dia bayangkan itu.

"Melihat alam bekerja itu nyenengin, ya." Ashana berbisik dengan senyum merekah. "Dibanding cuma lihat pemandangan di media sosial sambil rebahan."

"Lo anak rumahan?" tanya Jiro.

"Bisa dibilang gitu, sih...." Ashana menoleh. "Pasti tempat ini jadi tempat favorit lo."

"Dulu. Gue sering melarikan diri ke sini." Jiro tak sadar telah menceritakan masa lalunya pada Ashana. "Dari kecil gue suka ke mana-mana sendiri. Sampai Paman dan Bibi khawatir. Mungkin gue ngerasa pernah ada di posisi lo, makanya gue bawa lo ke sini. Punya keluarga bahkan dua Bapak dan Ibu, tapi kayak enggak punya." Jiro tersenyum miris, teringat masa-masa kecilnya yang kesepian. Andaikan dia tak menyukai Kalila, mungkin saat ini dia masih hidup berdampingan dengan kebenciannya pada Kalila. "Tapi sekarang gue udah berdamai dengan keadaan."

Dulu, Jiro merasa kehadiran Kalila lah yang membuatnya disingkarkan dari keluarga kandungnya dan Kalila juga lah yang membuatnya berdamai dengan keadaan. Namun, tak seharusnya Jiro membenci Kalila. Ada tidaknya Kalila di keluarga itu, pada akhirnya Jiro tetap akan dibawa pada Paman dan Bibi. Dia menjadi pilihan yang tepat karena merupakan anak tengah.

"Apa lo enggak punya pacar?" Jiro membeku dengan pertanyaan Ashana yang tak dia sangka-sangka. Wajah Kalila lansung muncul di pikirannya. Pertanyaan Ashana itu, bagaimana dia harus menjawab? Pada akhirnya Jiro masih bimbang untuk menjawab atau tidak dan diamnya itu membuat Ashana kembali bersuara. "Soalnya kayak mustahil lo enggak punya cewek."

"Mustahil?" Jiro menoleh dengan tawa kecil. Ashana tengah memandangnya dengan mata mengerjap, terkejut. "Apa muka gue muka-muka playboy, maksud lo gitu?"

"Enggak...." Ashana berpaling dan menyandarkan dagunya di atas kedua lutut yang tertekuk. "Jujur, ya. Lo kalau senyum itu, kayak senyum-senyum licik."

Jiro menaikkan alis. "Hm?"

Ashana menoleh dan terus memandang wajah Jiro. "Intinya muka lo muka cowok-cowok yang ramah dan murah senyum, tapi itu kalau orang-orang yang lo senyumin nggak peka dan cuma lihat sekali atau beberapa kali. Bagi gue, entah kenapa setelah sering ada di samping lo, gue jadi ngerasa kalau senyuman lo itu bukan senyuman cowok ramah. Tapi senyuman cowok licik nan manipulatif."

"Pfft...."

"A—pa? Kenapa?" Ashana bertanya dengan bingung.

Jiro memandang ke langit yang semakin gelap dan bulan mulai menampakkan dirinya. Baru kali ini Jiro mendengar Ashana bicara panjang lebar dengan satu tarikan napas. Cewek itu biasanya bicara dengan menggebu-gebu.

Ada sesuatu yang terlintas di benak Jiro. Sebuah pertanyaan yang tak seharusnya muncul.

Jika dia tidak jatuh cinta pada Kalila, apakah dia akan jatuh cinta pada Ashana?

Tidak. Mengapa juga dia harus memikirkan hal yang tak perlu? Di hati Jiro hanya ada Kalila dan tak boleh tergantikan oleh cewek mana pun, sekalipun itu cewek semanis Ashana.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

sirhayani

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.
Ruang dan WaktuWhere stories live. Discover now