IMG_0026_PainfulGoodbye.jpg

519 71 20
                                    

Tinggalkan jejak untuk si boncel dan udang galah, please. 🫶

Hari demi hari berlalu. Intensitas chat Harold sudah berkurang. Entah Mary harus bersyukur atau bersedih, karena rasa kehilangannya makin menjadi. Akan tetapi, ini jalan yang ia ambil dengan segenap kesadaran. Lebih baik begini daripada segalanya makin runyam di belakang. Seiring berjalannya waktu, Mary pasti bisa kembali pada kondisi awal sebelum Harold masuk ke dalam hidupnya kalau anak itu tidak menganggap eksistensi pria itu.

Itu logikanya. Fakta mengatakan sebaliknya. Naufal dan segenap kru divisi jurnalis fotografer bertanya kabar tiap beberapa jam sekali saking diamnya Mary. Gisel yang dari kemarin suka heboh bertanya soal Mashtama pada Mary pun sampai segan mendekat.

Beberapa kali Hiro mentraktir makanan. Di titik ini, sepertinya satu kantor juga tahu ke mana hati bapak redaktur satu itu berlabuh. Hari ini pun, kantong plastik berisi sepotong kebab, sekotak salad, dan segelas teh lemon mampir ke meja Mary.

"Mas, gue lagi nggak laper." Mary menghela napas. "Terus, ini tiap hari banget? Gue sungkan, Mas."

"Penampakan lu melas banget, Mar." Hiro mengangkat bahu. Masa bodoh dengan protes yang Mary layangkan. "Gue cuma pingin lihat lu senyum."

Kedua sudut bibir tipis Mary terangkat. Jelas-jelas itu senyum terpaksa. "Begini?"

"Yang genuine lah, Mar," gerutu Hiro. "Biasa juga lu ngerusuh sama si Nopal atau ribut ngomel-ngomel. Kenapa akhir-akhir ini jadi diem, dah?"

Naufal, yang ada di kubikel sebelah, hanya melirik sekilas saat Hiro mengucapkan pertanyaan itu sebelum kembali fokus pada pekerjaan. Yang ditanya pun hanya menatap lawan bicaranya tanpa ekspresi. "Nggak mood," jawab Mary singkat. Ia berbalik menghadap komputer dengan air muka yang sulit dibaca.

Hiro menarik napas. Lelaki yang hari ini mengikat rambutnya dengan gaya man bun itu menggeser makanan pemberiannya ke hadapan Mary. "Dimakan dulu. Siapa tahu mood lu jadi enakan."

Menerima kebaikan dari seseorang yang menaruh perasaan lebih terasa bagai beban untuk Mary. Apalagi karena gadis itu tahu jika misal ia mencoba membalas pun, hatinya sudah terlanjur terpaut pada Harold. Sakit hati itu menyakitkan—yah, namanya juga sakit—dan Mary tidak ingin menjadi penyebab sakit hati mendalam untuk orang lain. Cukuplah ia sendiri.

"Mas, gue nggak bisa terima—"

Lelaki gondrong itu mendesis dan meletakkan telunjuk di depan bibir. "Perasaan lu sama gue bukan masalah utama sekarang. Gue cuma pingin lihat lu ceria kayak biasanya. Anak-anak kantor pun sama. Kalau gue bilang ini hasil urunan satu ruangan, percaya, nggak?"

"Lah, Mas, tadi katanya jangan bilang-bilang?" Kru di kubikel depan Mary langsung protes. "Malah lu bocorin, gimana dah?"

"Soalnya kalau dari gue doang, Mary nggak mau makan pasti." Hiro tertawa ringan. "Lagian anak-anak di ruangan ini jadi saksi lu sering skip makan siang akhir-akhirnya. Makanan dari gue juga dikasihin ke yang lain, kan? Kalau hasil urunan gini masa lu nolak juga?"

Mata almon Mary yang sedang tidak dilapisi oleh lensa kontak itu mengerjap. Kondisinya separah itu, kah? Akhir-akhir ini, Mary memang malas mengunyah. Dia baru mengkonsumsi sesuatu apabila lambungnya memberi kode keras. Akan tetapi, dirinya aman, kok. Agak lemas memang, tapi masih bisa hidup dan bekerja dengan baik. Kenapa rekan-rekannya sampai urunan makanan segala?

"Semoga masalah lo cepetan kelar," Naufal akhirnya menyahut dengan senyum penuh arti. "Ada yang marah ntar, kalau tau lo skip makan mulu."

"Siapa?" Mary bertanya sambil melotot, bersamaan dengan suara tenor Hiro yang penuh keterkejutan.

[END] Heart Shutter - MaryWhere stories live. Discover now