IMG_0008_NoManNoCry.jpg

1K 117 27
                                    


"Mar, lo join, nggak?"

Baru juga Mary tiba di kantor. Pantatnya saja belum menyentuh kursi saat rekan kerjanya menodong pertanyaan. Si mungil mendengkus. "Nanya yang lengkap, Bro. Join apaan?"

"Pagi-pagi dah ngamuk bae lo." Kawan lelakinya terkekeh. Ia menunjukkan pesan di layar. "Weekend ini anak-anak mau hunting di Kotu. Join nggak?"

Anak-anak yang dimaksud adalah komunitas fotografer jalanan se-Jabodetabek. Mary memang gemar mengikuti kegiatan komunitas beraneka ragam apabila sedang tidak lelah digempur pekerjaan. Dia suka bertemu dan menangkap momen banyak manusia.

Akan tetapi, akhir-akhir ini ada yang berbeda. Ada yang jauh lebih menyenangkan di akhir pekan.

"Weekend kapan, Pal?" Gadis berambut brunette itu meletakkan ransel, lantas mendarat di kursinya. "Kalau Minggu, gue nggak bisa. Ada job."

"Nge-job mulu!" Naufal, si rekan kerja, berdecak. "Kemarin pas Mas Hiro ngajakin main juga lo alasannya nge-job, kan?"

"Iya. Soalnya gue belum tajir," jawab Mary sekenanya.

Lelaki dengan rambut cepak itu langsung melempar Mary dengan pulpen terdekat. "Lo Mulyabakti ya, anjir!"

Gadis itu terkikik. Naufal adalah satu dari segelintir orang yang peka dengan arti di balik nama belakangnya di MiniMasa. Mary memungut pulpen yang dilemparkan padanya, lantas memasukkan benda itu ke kotak pensil. "Kalau lu mau bayarin akomodasi hidup gue, baru gue pertimbangkan."

"Kebalik. Lo yang harusnya nafkahin gue." Naufal berdecak lagi. "Jangan sok kere, Mar. Kere beneran tau rasa lo."

Kalau boleh jujur, mengingat standar hidup keluarga Mary, kondisinya sekarang sudah cukup kere. Naufal tidak bilang begitu pun, Mary sudah merasakan. Hanya saja, lelaki itu ada benarnya. Bisa saja Mary menyentuh rekening dari bapaknya yang entah sudah diisi berapa puluh juta itu dan ongkang-ongkang kaki di kursi direktur. Tidak perlu susah-susah mengambil freelance job. Dia memang sok kere, kalau dipikir-pikir.

Tak apalah. Kehidupan masyarakat biasa dengan segala dinamikanya terasa lebih menyenangkan untuk Mary.

Mary hendak membalas omelan kawannya ketika Hiro datang menghampiri meja mereka. Redaktur satu itu mengambil tempat duduk di sisi kiri Mary yang masih kosong. "Lu mau dinafkahin, Mar? Sini, ama gue aja."

"Weits, main nyamber aje lo, Mas!" Naufal memutar kursi kerjanya. Ia tersenyum penuh makna. "Tapi kayaknya ide bagus, Mar. Nanti nggak cuma lo yang dinafkahin, satu divisi bakal kecipratan berkah. Ya kan, Mas?"

Mata kelabu Mary mendelik. Ia tidak sepolos itu untuk mengabaikan makna tersirat di balik celetukan yang terdengar asal barusan. "Kita semua udah dinafkahin kantor, sih."

Hiro tertawa melihat reaksi Mary. Pria itu menyodorkan amplop. "Surat tugas. Hari ini kita berdua liputan di kantor pemerintahan, ya."

Alis Mary terangkat. "Kita berdua?"

Lelaki gondrong itu mengangguk antusias. "Ada koruptor baru. Mau ada press release-nya."

Yang itu Mary tahu. Ketebak, lah. Buat apa meliput ke kantor pemerintahan kalau mereka tidak menyediakan lapak pembantaian—salah, wawancara? Pertanyaan Mary adalah fungsi keterlibatan Hiro kali ini.

"Lu redaktur, Mas. Ngapa jadi sering turun lapangan juga? Nanti kalau anak-anak ada kepentingan sama lu, gimana?"

"Ada Tifa dan Ardi." Dengan enteng, Hiro menyebut dua nama rekan redakturnya. "Lagian sehari doang, Mar. Aman."

Kadang, Mary sulit memahami jalan pikir Hiro. Terjun mencari berita sama sekali tidak ada dalam jobdesk redaktur manapun, sepanjang yang Mary tahu. Tupoksi mereka mengarahkan reporter dan memeriksa hasil berita yang didapat. Kenapa Hiro malah terjun langsung? Berasa kurang orang saja, padahal bukannya tidak ada kru gabut di kantor!

[END] Heart Shutter - Maryजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें